BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Udang Vannamei (Litopaneus vannamei) merupakan udang asli perairan amerika latin, sejak 4 dekade terakhir budidaya udang ini mulai merebak dengan cepat kekawasan asia seperti Taiwan, cina, dan malaysia, bahkan kini di Indonesia (Hilman 2006). Udang vannamei masuk keindonesia pada tahun 2001. Pada Mei 2002 pemerintah memberi izin kepada dua perusahaan swasta salah satunya PT. Central Pertiwi Bahari (CPB) desa Suak Kec. Sidomulyo Kalianda Lampung Selatan Indonesia untuk mengimpor induk udang vannamei sebanyak 2000 ekor, selain itu juga mengimpor benur sebanyak lima juta ekor dari Hawaii serta 300.000 ekor dari Amerika latin. Induk dan benur tersebut kemudian dikembangkan oleh hatchery pemula, sekarang usaha tersebut telah dikomersialkan dan berkembang pesat karena peminat udang vannamei semakin meningkat (Hilman 2006).
Kehadiran udang vannamei diakui sebagai penyelamat dunia pertambakan udang di Indonesian. Petambak mulai bergairah kembali begitu juga dengan para operator pembenih udang. Operator mulai membenihkan udang vannamei untuk memenuhi kebutuhan petambak. Awal mula pembudidayaan udang vannamei dilakukan di Jawa Timur dan memperoleh keuntungan yang cukup memuaskan sehingga petambak di luar Jawa Timur sangat antusias untuk membudidayakan terhadap udang vannamei, Bahkan hampir 90% petambak mengganti komoditas udang windu menjadi udang vannamei. Hal ini dikarenakan produksi udang windu pada saat itu yang sedang berkembang mengalami penurunan karena serangan penyakit dan virus terutam bercak putih ( White Syndrome Virus). Dengan semakin banyaknya petambak udang vannamei maka diperlukan prosedur dan proses budidaya yang benar bagi para hatchery baik dari guna memenuhi permintaan para petambak khususnya petambak udang vannamei.
Dengan demikian diharapkan produktivitas udang vannamei dapat diangkat . Untuk melaksanakan usaha perikanan budidaya yang berkelanjutan, maka penerapan tatacara budidaya yang bertanggung jawab harus dimulai dari kegiatan pembenihan sampai dengan pembesarannya. Benih yang bermutu dicirikan antara lain : pertumbuhan cepat, ukuran seragam sintasan tinggi,adaptif terhadap lingkungan pembesaran, bebas parasit dan tahan terhadap penyakit, efisien dalam menggunakan pakan serta tidak mengandung residu bahan kimia dan obat-obatan yang dapat merugikan manusia dan lingkungan. Agar dihasilkan benih yang bermutu, maka dalam kegiatan usaha pembenihan harus mendapatkan teknik pembenihan sesuai dengan standard an prosedur pembenihan yang baik.untuk itu perlu adanya Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) yang dapat digunakan sebagai acuan para pelaku usaha pembenihan udang dalam menghasilkan benih yang bermutu.
PT. Central Pertiwi Bahari Lampung selatan pada awalnya bernama Bratasena, berdiri pada tahun 1996. Dan menempati lahan seluas 3,0 ha. Produksi benur udang vannamei dirintis sejak awal tahun 2003 oleh PT. Central Pertiwi Bahari (CPB) desa Suak Kec. Sidomulyo Kalianda Lampung Selatan Indonesia yang sebelumnya membudidayakan udang Monodon. Budidaya uji coba udang Vannamei sudah dilakukan dengan memperoleh hasil yang cukup memuaskan, setelah melalui serangkaian penelitian dan kajian, akhirnya pemerintah secara resmi melepas udang vannamei sebagai varietas unggul pada 12 juli 2001 melalui SK Mentri KP. No 41/2001.
Fasilitas PT. Central Pertiwi Bahari Lampung Selatan
a. Fasilitas utama
1) Wadah
Fasilitas pembenihan utama terdiri dari wadah budidaya. Wadah tersebut berupa bak pemeliharaan induk, bak pemeliharaan larva, bak penetasan telur dan bak kultur pakan alami serta penampungan air (tandon) yang dilengkapi dengan bak filternya.
Tabel 1. Sarana pembenihan
Bak/Tempat pemeliharaan larva | Bentuk dan Bahan | Kapasitas | Jumlah | Fungsi | Ket |
Hatchery 5. Module A | Persegi panjang dan terbuat dari semen | 60 ton | 14 unit | Untuk pemeliharaan larva | Semua bak di gunakan |
Hatchery 5. Module B | Persegi panjang dan terbuat dari semen | 60 ton | 14 unit | Untuk pemeliharaan larva | Semua bak di gunakan |
Hatchery 5. Module E | Persegi panjang dan terbuat dari semen | 60 ton | 14 unit | Untuk pemeliharaan larva | 1 bak tidak di gunakan (bocor) |
Hatchery 5. Module F | Persegi panjang dan terbuat dari semen | 60 ton | 14 unit | Untuk pemeliharaan larva | Semua bak di gunakan |
b. Fasilitas pendukung
1) Sumber energi
Ketersediaan tenaga listrik merupakan sarana yang sangat vital dalam suatu usaha budidaya karena hampir sebagian besar peralatan yang di operasikan membutuhkan tenaga listrik. Oleh karena itu, tenaga listrik harus tersedia selama 24 jam. Tenaga listrik berasal dari PT.PLN Lampung selatan dan cadangan bila terjadi gangguan aliran listrik digunakan genset.
2) Instalasi udara /aerasi
Oksigen merupakan faktor yang sangat dibutuhkan oleh ikan untuk melakukan respirasi, sehingga keberadaannya sangat penting. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan oksigen digunakan blower yang dihubungkan dengan pipa PVC 1 inchi, yang dilengkapi selang aerasi dan batu pemberat. Kegunaan blower ini untuk mensuplai udara ke dalam air yang berada dalam wadah pemeliharaan larva udang sehingga udang yang dipelihara tidak kekurangan oksigen terlarut.
3) Bangunan
PT. Central Pertiwi Bahari Lampung selatan memiliki Laboratorium pakan alami (Algae) yang terdiri dari lab murni dan lab massal, Laboratorium QC/FQC (Larva, Naupli), Laboratorium WQM (water quality management), Laboratorium FHM (Monitoring kesehatan ikan), laboratorium bacteriology, laboratorium Broondstock quality dan Laboratorium VCR. Bangunan lain terdiri dari satu unit kantor, kantin eksekutif, koperasi, mess tamu, masjid, aula kantor dan rumah karyawan.
Gambar 1. Unit pemeliharaan larva udang vannamei
PT. Central Pertiwi Bahari (Bratasena) Lampung selatan merupakan tempat yang cocok untuk melaksanakan kegiatan magang industri. Maka akhirnya, penulis merasa tertarik untuk mempelajari dan mengenal lebih dalam teknik pemeliharaan larva udang vannamei. Dengan pengalaman tersebut diharapkan penulis mendapatkan bekal untuk mendidik dan menyalurkan ilmu yang diperoleh kepada siapa saja yang ingin mengetahui tentang teknik pemeliharaan larva udang vannamei.
1.2.Tujuan
Adapun tujuan dilaksanakannya kegiatan magang teknik pemeliharaan larva udang putih (Litopenaeus Vannamei) di PT. Central Pertiwi Bahari Lampung selatan adalah sebagai berikut :
a. Mahasiswa dapat mengetahui cara pemeliharaan larva udang vannamei.
b. Mahasiswa dapat mengetahui sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pemeliharaan larva udang vannamei.
c. Mahasiswa dapat mengetahui dan melakukan menejemen kualitas air dan pengelolaan pakan dalam pemeliharaan larva udang vannamei.
d. Mahasiswa dapat mengetahui manajemen pakan dari jenis pakan alami maupun buatan yang dapat diberikan untuk pemeliharaan larva udang vannamei.
e. Mahasiswa dapat mengetahui proses panen larva udang vannamei ketika sudah mencapai stadia post larva.
1.3. Manfaat
Dan manfaat yang diperoleh dilaksanakannya kegiatan magang teknik pemeliharaan larva udang putih (Litopenaeus Vannamei) di PT. Central Pertiwi Bahari Lampung selatan adalah sebagai berikut:
a. Dapat memperoleh gambaran secara langsung tentang lingkungan kerja yang sebenarnya, meningkatkan pengetahuan dan mempraktekan secara langsung bagaimana cara memelihara larva udang vannamei yang berkualitas.
b. Dapat menambah wawasan terhadap masalah – masalah di lapangan, sehingga dapat memahami dan memecahkan tentang cara memelihara larva udang vannamei yang berkualitas dengan cara memadukan antara teori yang diterima dengan kenyataan yang ada dilapangan.
c. Dapat membandingkan antara teori yang telah didapat selama perkuliahan dengan praktek produksi di lapangan usaha perikanan pembenihan.
1.4. Sasaran
Adapun sasaran yang ingin dicapai setelah mengikuti kegiatan magang industri “pemeliharaan udang putih (Litopenaeus Vannamei)” di PT. Central Pertiwi Bahari Lampung selatan adalah agar mahasiswa /i mampu menerapakan ilmu yang diperoleh untuk dijadikan bekal kemasyarakatan dalam menyongsong dunia kerja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi udang vannamei (Litopenaeus vannamei)
Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis udang yang memiliki pertumbuhan cepat dan nafsu makan tinggi, namun ukuran yang dicapai pada saat dewasa lebih kecil dibandingkan udang windu (Paneus monodon), habitat aslinya adalah di perairan Amerika, tetapi spesies ini hidup dan tumbuh dengan baik di Indonesia. Di pilihnya udang Vannamei ini di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu (1) sangat diminati dipasar Amerika, (2) lebih tahan terhadap penyakit dibanding udang putih lainnya, (3) pertumbuhan lebih cepat dalam budidaya, (4) mempunyai toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan (Ditjenkan, 2006).
Udang Vannamei termasuk genus paneus, namun yang membedakan dengan genus paneus lain adalah mempunyai sub genus litopenaeus yang dicirikan oleh bentuk thelicum terbuka tetapi tidak ada tempat untuk penyimpanan sperma (Ditjenkan, 2006). Ada dua spesies yang termasuk sub genus Litopenaeus yakni Litopenaeus vannamei dan Litopenaeus stylirostris (wiban dan sweeney, 1991).
Gambar 2. Udang vannamei
2.2. Taksonomi dan anatomi udang vannamei
Menurut Wiban dan Sweeney (1991), taksonomi udang Vannamei sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Crutacea
Sub class : Malacostraca
Series : Eumalacostraca
Super ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Dendrobrachiata
Infra ordo : Penaeidea
Super famili : Penaeioidea
Famili : Pemaeidae
Genus : Peneaeus
Sub genus : Litopenaeus
Species : Litopenaeus Vannamei
Udang Vannamei termasuk crustacea, ordo decapoda seperti halnya udang lainnya, lobster dan kepiting. Dengan kata lain decapoda dicirikan mempunyai 10 kaki, carapace berkembang baik menutup seluruh kepala. Udang paneid berbeda dengan decapoda lainnya. Dimana perkembangan larva dimulai dari stadia nauplis dan betina menyimpan telur didalan tubuhnya (Ditjenkan, 2006).
Udang vaname termasuk genus penaeus dicirikan oleh adanya gigi pada rostrum bagian atas dan bawah, mempunyai dua gigi dibagian ventral dari rostrum dan gigi 8-9 di bagian dorsal serta mempunyai antena panjang (Elovaara, 2001).
2.3. Morfologi udang vannamei
Udang putih vaname sama halnya seperti udang penaid lainnya, binatang air yang ruas-ruas dimana pada tiap ruasnya terdapat sepasang anggota badan. Anggota ini pada umumnya bercabang dua atau biramus. Tubuh udang secara morfologis dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu cepalothorax atau bagian kepala dan dada serta bagian abdomen atau perut. Bagian cephalothorax terlindungi oleh kulit chitin yang tebal yang disebut carapace. Secara anatomi cephalotorax dan abdomen, terdiri dari segmen-segmen atau ruas-ruas. Masing-masing segmen memiliki anggota badan yang mempunyai fungsi sendiri-sendiri (Elovaara, 2001).
Kulit chitin pada udang penaidae akan mengelupas (ganti kulit) setiap kali tubuhnya akan membesar, setelah itu kulitnya mengeras kembali (Martosudarmo dan Ranumiharjo, 1980; Tricahyo, 1995; Suyanto dan Mujiman,1990). Menurut Martosudarmo et al., (1983), tubuh udang penaeid terdiri dari tiga bagian yaitu:
a. Kepala
Kepala terdiri dari enam ruas, pada ruas kepala pertama terdapat mata majemuk yang bertangkai, beberapa ahli berpendapat bahwa mata bertangkai ini bukan suatu anggota badan seperti pada ruas-ruas yang lain, sehingga ruas kepala dianggap berjumlah lima buah. Pada ruas kedua terdapat antena I atau antenules yang mempunyai dua buah flagella pendek yang berfungsi sebagai alat peraba dan pencium. Ruas ketiga yaitu antena II atau antennae mempunyai dua buah cabang yaitu cabang pertama (exopodite) yang berbentuk pipih dan tidak beruas dinamakan prosertama. Sedangkan yang lain (Endopodite) berupa cambuk yang panjang yang berfungsi sebagai alat perasa dan peraba. Tiga ruas terakhir dari bagian kepala mempunyai anggota badan yang berfungsi sebagai pembantu yaitu sepasang mandibula yang bertugas menghancurkan makanan yang keras dan dua pasang maxilla yang berfungsi sebagai pembawa makanan ke mandibula. Ketiga pasang anggota badan ini letaknya berdekatan satu dengan lainnya sehingga terjadi kerjasama yang harmonis antara ketiganya.
b. Dada
Bagian dada terdiri dari delapan ruas yang masing-masing ruas mempunyai sepasang anggota badan yang disebut Thoracopoda. Thoracopoda pertama sampai dengan ketiga dinamakan maxilliped yang berfungsi sebagai pelengkap bagian mulut dalam memegang makanan. Thoracopoda lainnya (ke-5 s/d ke-8) berfungsi sebagai kaki jalan yang disebut pereipoda. Pereipoda pertama sampai dengan ketiga memiliki capit kecil yang merupakan ciri khas dari jenis udang penaeid.
c. Perut
Bagian perut atau abdomen terdiri dari enam ruas. Ruas yang pertama sampai dengan ruas kelima masing-masing memiliki sepasang anggota badan yang dinamakan pleopoda. Pleopoda berfungsi sebagai alat untuk berenang oleh karena itu bentuknya pendek dan kedua ujungnya pipih dan berbulu (setae) pada ruas yang keenam pleopoda berubah bentuk menjadi pipih dan melebar yang dinamakan uropoda, yang bersama-sama dengan telson berfungsi sebagai kemudi.
Warna dari udang Vannamei ini putih transparan dengan warna biru yang terdapat dekat dengan bagian telson dan uropoda (Lightner et al., 1996).
Alat kelamin udang jantan disebut petasma, yang terletak pada pangkal kaki renang pertama. Sedangkan alat kelamin udang betina disebut juga dengan thelicum terbuka yang terletak diantara pangkal kaki jalan ke empat dan ke lima (Tricahyo, 1995; Wyban dan Sweeney, 1991).
Pada stadia larva, udang putih mamiliki enam stadia naupli, tiga stadia zoea, dan tiga stadia mysis dalam daur hidupnya (Elovaara, 2001). Setelah perkawinan induk betina mengeluarkan telur-telurnya (spawning), yang segera di buahi sperma tersebut, selesai terjadi pembuahan, induk betina segera ganti kulit (moulting). Pada pagi harinya dapat dilihat kulit-kulit dari betina yang selesai memijah. Jadi perkawinan pada udang open telikum terjadi setelah gonad matang telur. Telur-telur yang telah dibuahi akan terdapat pada bagian dasar atau melayamg-layang di air (Wyban dan Sweeney, 1991). Cara ini berbeda dengan udang windu yang merupakan close telikum, dimana perkawinan terjadi sebelum gonad udang betina berkembang atau matang.
2.4. Habitat dan daur hidup udang vannamei
Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Pada umumnya udang bersifat bentis dan hidup pada permukaan dasar laut. Adapun habitat yang disukai oleh udang adalah dasar laut yang lumer (soft) yang biasanya campuran lumpur dan pasir. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa induk udang putih ditemukan diperairan lepas pantai dengan kedalaman berkisar antara 70-72 meter (235 kaki). Menyukai daerah yang dasar perairannya berlumpur. Sifat hidup dari udang putih adalah catadromous atau dua lingkungan, dimana udang dewasa akan memijah di laut terbuka. Setelah menetas, larva dan yuwana udang putih akan bermigrasi kedaerah pesisir pantai atau mangrove yang biasa disebut daerah estuarine tempat nurseri groundnya, dan setelah dewasa akan bermigrasi kembali ke laut untuk melakukan kegiatan pemijahan seperti pematangan gonad (maturasi) dan perkawinan (Wyban dan Sweeney, 1991). Hal ini sama seperti pola hidup udang penaeid lainnya, dimana mangrove merupakan tempat berlindung dan mencari makanan setelah dewasa akan kembali ke laut (Elovaara, 2001).
|
| |
Gambar 3. Siklus hidup udang Penaeid (Stewart, 2005)
Pada udang putih, ciri-ciri telur yang telah matang adalah dimana telur akan terlihat berwarna coklat keemasan (Wyban dan Sweeney,1991). Udang putih mempunyai carapace yang transparan, sehingga warna dari perkembangan ovarinya jelas terlihat. Pada udang betina, gonad pada awal perkembangannya berwarna keputih-putihan, berubah menjadi coklat keemasan atau hijau kecoklatan pada saat hari pemijahan (Lightner et al., 1996).
Telur jenis udang ini tergantung dari ukuran individu, untuk udang dengan berat 30 gram sampai dengan 45 gram telur yang di hasilkan 100.000 sampai 250.000 butir telur. Telur yang mempunyai diameter 0,22 mm, cleaveage pada tingkat nauplis terjadi kira-kira 14 jam setelah proses bertelur (Anonymous, 1979). Menurut Lim et al., (1989), perkembangan larva udang penaeid terdiri dari beberapa stadia yaitu:
a. Stadia nauplius
Nauplius bersifat planktonik dan phototaxis positif. Dalam stadia ini masih memiliki kuning telur sehingga belum memerlukan makanan. Perkembangan stadia nauplius terdiri dari enam sub stadium. Nauplius memiliki 3 pasang organ tubuh yaitu antena pertama, antena kedua dan mandible. Antena pertama uniramous, sedangkan 2 alat lainnya biramous.
b. Stadia Zoea
Perubahan bentuk dari nauplius menjadi zoea memerlukan waktu kira-kira 40 jam setelah penetasan. Pada stadia ini larva dengan cepat bertambah besar. Tambahan makanan yang diberikan sangat berperan dan mereka aktif memakan phytoplankton. Stadia akhir zoea juga memakan zooplankton. Zoea sangat sensitif terhadap cahaya yang kuat dan ada juga yang lemah diantara tingkat stadia zoea tersebut.
Zoea terdiri dari tiga substadia secara kasar tubuhnya di bagi kedalam tiga bagian, yaitu carapace, thorax dan abdomen. Tiga substadia tersebut dapat dibedakan berdasarkan segmentasi abdomen dan perkembangan dari lateral dan dorsal pada setiap segmen.
c. Stadia mysis
Larva mencapai stadia mysis pada hari ke lima setelah penetasan. Larva pada stadia ini kelihatan lebih dewasa dari dua stadia sebelumnya. Stadia mysis lebih kuat dari stadia zoea dan dapat bertahan dalam penanganan. Stadia mysis memakan phytoplankton dan zooplankton, akan tetapi lebih menyukai zooplankton menjelang stadia mysis akhir (M3). Mysis memilki tiga sub stadia dimana satu dengan lainnya dapat dibedakan dari perkembangan bagian dada dan kaki renang.
d. Stadia post larva
Perubahan bentuk dari mysis menjadi post larva terjadi pada hari kesembilan. Stadia post larva mirip dengan udang dewasa, dimana lebih kuat dan lebih dapat bertahan dalam penanganan. Kaki renang pada stadia post larva bertambah menjadi tiga segmen yang lebih lengkung. Post larva bersifat planktonik, dimana mulai mencari jasad hidup sebagai makanan.
2.5. Pakan dan kebiasaan makanan udang vannamei
Makanan udang penaeid terdiri dari crustacea dan molusca yang terdapat 85 % didalam pencernaan makanan dan 15 % terdiri dari invertebrata benthis kecil, mikroorganisme penyusun detritus, udang putih demikian juga di alam merupakan omnivora dan scavenger (pemakan bangkai). Makanannya biasanya berupa crustacea kecil, amphipouda dan plychacetes atau cacing laut (Wyban dan Sweeney, 1991). Lebih lanjut dikatakan dalam pemeliharaan induk udang putih, pemberian pakan udang putih 16 % dari berat total adalah cumi, 9 % cacing dengan pemberian pakan empat kali perhari.
Udang mempunyai pergerakan yang hanya terbatas dalam mencari makanan dan mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri terhadap makanan yang tersedia lingkungannya. Di alam larva udang biasanya memakan zooplankton yang terdiri dari trochophora, balanos, veliger, copepoda, dan larva polychaeta (Tricahyo, 1995).Udang putih termasuk golongan udang penaeid. Maka sifatnya antara lain bersifat nocturnal artinya aktif mencari makan pada malam hari atau apabila intensitas cahaya berkurang. Sedangkan pada siang hari yang cerah lebih banyak pasif, diam pada rumpon yang terdapat dalam air tambak atau membenamkan diri dalam Lumpur (Nurdjana et al., 1989).
BAB III
METODOLOGI
3.1. Pelaksanaan magang
3.1.1. Waktu
Kegiatan magang teknik pemeliharaan larva udang vanname dilaksanakan dari tanggal 12 Agustus sampai 26 Agustus 2011. Oleh mahasiswi semester V Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang Banten.
3.1.2. Tempat
Kegiatan magang teknik pemeliharaan larva udang vannamei dilaksanakan di PT. Central Pertiwi Bahari Desa Suak, Kecamatan Sidomulyo Kalianda Lampung selatan Indonesia.
3.2. Pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam kegiatan magang teknik pemeliharaan larva udang vannamei yaitu :
3.2.1. Metode survai
Metode survai dilakukan melalui pengamatan dan kegiatan langsung di lapangan serta mewawancarai pembimbing dan pelaksana teknis di lapangan diluar jam kerja atau pada waktu senggang baik dengan teknisi atau karyawan yang dianggap berkompeten
3.2.2. Metode praktik
Metode kerja dilakukan dengan cara mengikuti langsung tahap kegiatan dalam teknik pemeliharaan udang vanname, mulai masuknya nauplii dari maturation nauplii production department ke fry production department. Pengamatan ini dilakukan dengan cara berpartisipasi aktif dengan mengikuti setiap kegiatan kerja dilapangan. Adapun tahap-tahap kegiatan dalam pemeliharaan larva udang vannamei adalah sebagai berikut: Tahap persiapan, Tahap pemeliharaan, Proses panen
3.3. Analisa data
Data yang di ambil adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara mengamati dan mengikuti secara langsung kegiatan yang sedang berlangsung. Sedangkan data sekunder diambil dengan cara mengumpulkan literatur-literatur yang ada di perpustakaan dan instalasi lainnya.
BAB IV
HASIL MAGANG
Departement Fry production merupakan salah satu bagian dari PT.Central pertiwi bahari yang meliputi kegiatan dalam pemeliharaan larva.udang vaname terdiri dari 5 unit hatcery yaitu hatcery 1, 2, 3, 4, 5. Dan hatcery 5 merupakan tempat pelaksaan magang dilaksanakan, dimana unit 5 terdiri dari modul A, B,C,D,E, dan F.
4.1. Hasil magang hatchery 5 module A
Hasil yang didapatkan dalam kegiatan pemeliharaan larva Udang Vannamei (Litopeneaus Vannamei) selama melakukan kegiatan magang di PT.CentraL Pertiwi Bahari, hatcery 5 modul A Lampung sejak tanggal – 10 Agustus 2011 adalah sebagai berikut :
4.1.1. Tahap persiapan
Persiapan wadah pemeliharaan meliputi:
· Pencucian bak menggunakan larutan detergen dan kaporit (3:2). Larutan tersebut dilarutkan dengan air tawar pada wadah berupa ember.
· Larutan kaporit dan detergen disiram ke dinding dan dasar bak sampai merata.
· Kemudian dinding dan dasar bak di gosok-gosok dengan menggunakan scoring ped
· Setelah kotoran-kotoran yang menempel didinding dan dasar bak mengelupas selanjutnya dibilas dengan air tawar hingga bersih dan dilakukan pengeringan selama 1-2 hari.
· Selang, pemberat dan batu aerasi dicuci dan di jemur.
· Bak diisi air laut dengan ketinggian 50-80 cm.
· Bak pemeliharaan induk dipasang aerasi sebanyak 13 buah titik setiap baknya, untuk menambah oksigen.
4.1.2. Pemeliharaan larva
Kegiatan peliharaan larva dimulai dari stadia Zoea hingga mencapai stadia Post Larva (PL) 10 yang dikenal sebagai benih udang atau benur. Termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan seperti persiapan bak pemeliharaan, penebaran larva, pengembangan dan pengamatan kondisi larva, pengelolaan pakan, pengelolaan kualitas air, pengendalian penyakit dan proses pemanenan.
a). Persiapan bak
Sebelum digunakan, bak di cuci dengan menggunakan detergen dan kaporit untuk memutuskan siklus hama dan penyakit yang menempel di dasar dan dinding bak. Kegiatan pencucian tersebut dilakukan dengan cara:
· Dinding dan dasar bak digosok-gosok menggunakan scoring pad dan dibilas dengan air tawar hingga bersih dan kemudian bak dikeringkan sampai bau klorin dan detergen hilang..
· Selang, pemberat dan batu aerasi dicuci dan dijemur.
· Setelah kering, maka bak pemaliharaan larva di pasang aerasi sebanyak 30 buah titik serta terpal sebagai penutup agar suhu stabil selama proses pemeliharaan larva.
· Selanjutnya bak diisi air laut
· Pengisian air laut dilakukan dengan menggunakan filter bag. Air laut langsung di transfer dari tandon yang sebelumnya telah dilakukan penyaringan dengan menggunakan sand filter dan disinari UV.
b). Penebaran larva
Penebaran dilakukan pada pagi hari. Penebaran larva dilakukan dengan cara:
· Siapkan alat dan bahan
· Ambil larva yang telah di hitung dari bak fiber glass yang sudah mencapai stadia zoea
· Tebar larva tersebut ke dalam bak pemeliharaan larva.
c). Pengamatan kondisi dan perkembangan larva
Pengamatan kondisi larva dilakukan 2 cara:
· Pengamatan dilakukan dengan mengambil sample langsung dari bak pemeliharaan menggunakan backer glass transparan, kemudian diarahkan ke cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva, keaktifan gerakan dan nafsu makan larva.
· Pengamatan dilakukan dengan cara mengambil beberapa ekor larva dan dilakukan diatas gelas objek, kemudian diamati di bawah mikroskop. Pengamatan ini dilakukan untuk mengamati morfologi tubuh larva, keberadaan parasit patogen yang menyebabkan larva terserang penyakit. Hal ini sangat penting dilakukan untuk tindakan pengobatan secepatnya. Pengecekan kondisi larva lebih lanjut dilakukan oleh petugas laboratorium penyakit milik BBAP Situbondo.
4.1.3. Pengelolaan pakan
Pengelolaan pakan pada benur udang vanamei dimulai pada pukul 07.00, 10.30, dan 13.00, 15.30, 19.00, 22.30, 01.00, 04.00 WIB, dan semakin cepat molting maka semakin cepat dalam pemberian pakan buatannya. Pakan yang diberikan pada larva udang atau benur terdapat pakan buatan dengan merk Prophan 00 – 03 dimana Prophan 00 untuk Zoea 1 – Meosis 1 Prophan 01 untuk Meosis 1 – Meosis hampir ke PL (MPL) , Prophan 02 untuk Meosis hampir ke PL (MPL) - PL 5, Prophan 03 untuk PL 6 – Panen, untuk hasil yang sempurna pada pertumbuhan larva udang pakan buatan dicampur dengan flake dan pakan alami larva udang dari fitoplankton terdiri dari Chaetoceros sp, Thalla dan dari zooplankton terdiri Artemia. Hal ini dilakukan untuk memacu perkembangan benur. Pemberian pakan untuk larva udang/benur dilakukan dengan cara:
· Menebar pakan kebagian bak secara merata.
· Pakan yang diberikan berupa pakan buatan dan pakan alami pada pagi hari,
· Sebelum pakan diberikan, pakan buatan harus di timbang terlebih dahulu sesuai dengan stadia larva / benur tersebut setelah ditimbang pakan harus disaring dan diaduk terlebih dahulu agar pakan buatan mudah dicerna bagi larva udang / benur.
· Pakan yang diberikan sesuai dengan stadia larva udang
Gambar 4. Bungkus pakan buatan (prophan) yang digunakan untuk larva udang di PT. Central Pertiwi Bahari
Gambar 5. Pakan alami (Artemia) yang sedang di saring untuk diberikan pada larva udang yang sudah memasuki PL – 07
Gambar 6. Menimbang pakan buatan (prophan)
Gambar 7. Pakan buatan (prophan)
Gambar 8. Pakan buatan (prophan) yang sudah dicampur dengan flake diatasnya. Campuran pakan buatan (prophan) flake berwarna hitam
Gambar 9. Artemia beku
4.1.4. Pengendalian hama dan penyakit
Prosedur pengelolaan hama dan penyakit yang dilakukan sebagai berikut:
· Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan
· Pemberian obat-obatan yang aman seperti treplan, iodine atau EDTA setiap tiga hari sekali sesuai dengan dosis.
· Penerapan biosecurity dengan menggunakan PK atau kaporit secukupnya ditempatkan pada awal pintu masuk sebelum memasuki dan akan memasuki ruangan.
· Sanitasi peralatan yang dilakukan sebelum dan sesudah pemakaian peralatan.
Transfer antar bak
I. Siapkan bak (cuci bersih dinding, lantai dan peralatan yang ada didalamnya)
a. Isi air laut sebanyak 25 ton
b. Isi air tawar sebanyak 7 ton
c. Thalla 3 ton (kalau jelek tidak usah dikasih)
d. Treatment EDTA 10 ppm sebelum masuk Plankton ( jam 09.00 pagi)
e. Masukkan Prise 3 ppm (setelah selesai transfer)
II. a. Seser bak 1 sama dengan proses panen
b. Dipping dengan air tawar mengalir
c. Dipping dengan air laut (tidak mengalir)
d. Masukkan dalam ember
e. Pastikan ember bersih sebelum masuk kedalam bak yang sudah disiapkan
f. Masukkan benur dan ember kedalam bak
g. Prise 3 ppm setelah selesai ditransfer
4.1.5. Pemanenan
Panen dibedakan menjadi dua, yaitu panen secara total dan panen sebagian.
a). Panen secara total. Pemanenan dimulai dengan cara:
· Menurunkan volume air sampai 50 % dan memasang pipa saringan
· Setelah mencapai volume 50% pipa saringan dibuka dan air dari saluran pengeluaran ditampung pada ember berscren.
· Pemanenan secara total dilakukan dengan terlebih dahulu mematikan aerasi,
· Pembuangan air beserta benur dilakukan pada ember berscren sampai air yang ada pada bak pemeliharaan benar-benar habis.
· Selanjutnya dilakukan penyiraman bak agar sisa-sisa benur tidak menempel pada bak.
· Kemudian di tampung pada ember plastik yang diberi aerasi.
b). Panen sebagian
Untuk panen sebagian sangatlah sederhana yaitu dengan cara:
· Aerasi dimatikan terlebih dahulu dan air dikeluarkan kurang lebih 60 – 70 % sehingga benur akan berenang kepermukaan air untuk mempermudah penyeseran yang dilakukan menggunakan seser
· Hasil seseran di tampung pada ember plastik untuk dilakukan sampling.
Berikut dibawah ini gambar proses panen :
Gambar 10. Saat pipa saringan dibuka dan air dari saluran pengeluaran ditampung pada ember berscren.
Gambar 11. Larva udang diseser
Gambar 12. Larva yang sudah diseser di Dipping dengan air tawar mengalir
Gambar 13. Dipping dengan air laut (tidak mengalir)
Gambar 14. Masukkan dalam ember
Pada modul A bak yang bernomer 3, 5, 6,7, 8 dan 9 diberi tiga perlakuan yang berbeda, pada bak nomer 5 dan 7 diberikan perlakuan 1, bak nomer 6 dan 8 diberi perlakuan 2, dan perlakuan 3 (control) pada bak nomer 3 dan 9. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui apakah perbedaan pakan yang diberikan pada larva udang atau benur menghasilkan perbedaan hasil benur pada saat benur memasuki stadia tertentu atau pada saat panen, selain itu perlakuan ini juga bertujuan pakan manakah yang cepat habis dimakan larva udang apakah pada perlakuan 1, perlakuan 2, perlakuan 3 (control). Berikut pakan yang diberikan pada perlakuan 1, perlakuan 2, dan perlakuan 3 :
A. Perlakuan 1 : bak 5 dan 7
· Pada saat PL 1 – PL 6 diberikan pakan artemia live
· Pada saat PL 7 – Panen diberikan pakan artemia biomas
B. Perlakuan 2 : bak 6 dan 8
Pada saat PL 1 – PL 10 diberikan pakan artemia live dan memasuki stadia PL 7 diberikan pakan artemia live dicampur dengan biomas
C. Perlakuan 3 (control)
Pada saat PL 1 – PL 10 diberikan pakan artemia live
4.2. Hasil magang hatchery 5 module B
Hasil yang didapatkan dalam kegiatan pemeliharaan Udang Vaname (Litopeneaus vannamei) selama melakukan kegiatan magang di PT.CentraL Pertiwi Bahari, hatcery 5 modul B Lampung sejak tanggal – 29 November 2008 adalah sebagai berikut. Kegiatan yang dilakukan dalam Pembesaran dan pemeliharaan larva Udang Vaname (Litopeneaus vannamei) :
1. Tahap Persiapan
2. Pemeliharaan
3. Pemanenan
4.2.1. Pembahasan
Adapun pembahasan dari hasil magang pembesaran larva udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di PT.Central Pertiwi Bahari,Lampung diantaranya sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan.
Persiapan wadah/sarana tempat pemeliharaan
a. Fumigasi ruangan : Bertujuan untuk mensterilan kondisi ruangan sebelum memulai pemeliharaan larva udang vannamei dengan menggunakan Larutan PK 100 gr dan formalin 250 ml. Diberbagai titik atau sudut ruangan selama 24 jam.
b. Pengelolaan air : Faktor yang sangat menentukan dalam rangka pemeliharaan larva udang vannamei adalah system pengelolaan air. Kebersihan air yang akan menetukan keberhasilan pembenihan udang. Dalam pemeliharaan larva udang vannamei dibutuhkan 2 jenis air, yakni air laut dan air tawar. Pengadaan air laut dapat diusahakan dengan menyedot air laut dengan menggunakan pompa dan pipa paralon (PVC) yang dipasang horisontal. Agar kebersihan laut yang akan disedot terjamin, diperukan jarak pengambilan air dari garis pantai paling tidak 300 m. Disamping itu, ujung pipa paralon hendaknya dilengkapi dengan saringan untuk menyaring kotoran. (Agus,2003). Ada beberpa alternative untuk memperoleh air laut yang bersih untuk keperluan pemeliharaan larva udang windu
· Pengadaan air laut melalui pipa yang ditanam dalam bak filter di dasar laut
· Pengadaan air laut langsung dari laut melalui pipa yang akan dipasang di atas dasar laut
· pengadaan air laut melalui pipa yang ditanam di pantai
· Pengadaan air laut melalui sumur yang dibuat di pantai
Air laut yang akan digunakan untuk pemeliharaan larva udang vannamei harus jernih dan higienis. Air laut dari pipa saluran utama akan mendapatkan perlakukan pembersihan. Adapun tahapan perlakuan tersebut adalah sebagai berikut :
· Air dalam pipa saluran pertama ditampung dalam bak penampungan selama semalam
· Dari bak penampungan, air dialirkan ke bak penyaringan. Bak penyaringan pertama dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama tidak diberi perlakuan, untuk masuk ke bagian kedua melewati pipa penghubung bagian atas. Ruang bagian kedua dilengkapi dengan saringan yang tersusun dari atas ke bawah: hampa busa, lapisan pasir yang sudah bersih, lapisan arang steril, lapisan ijuk, bentang jaring atas kasa, dan lapisan pecahan batu. Melalui pipa penghubung bagian bawah, air laut dari ruang bagian kedua masuk ke ruang bagianketiga. Ruang tersebut juga diberi lapisan penyaring sehingga air mengalami pencucian balik.
· Dari bak penyaringan pertama, air laut masuk ke bak penyaringankedua. Pada bagian sudut bak penyaring kedua diberi saringanseperti pada bak penyaring pertama
· Tahap terakhir dari perlakuan air laut yang akan digunakan untuk pemeliharaan larva udang vannamei adalah desinfeksi dengan menggunakan sinar ultraviolet ( UV). Perlakuan ini bertujuan untuk menghilangakan organisme yang tidak terinfeksi yang mungkin masih lolos melalui saringan.
Pengadaan air tawar umumnya dilakukan dengan menggnkan air dari sumur bor (artesis), air tawar selain berguna untuk keperluan pencucian peralatan, juga untuk mengatur salinitas air bagi keperluan pemeliharaan larva udang vannamei.
Untuk memeprtahankan agar kualiatas air tetap baik, air harus selalu diganti dengan system pengakiran, aerasi, pemberian aerasi, pemberian makanan yang tidak berlebihan, serta pembersihan kotoran dengan peyiponan. Kualitas air dapat diketahui secra parametik dengan melakukan pemeriksaan, seperti salinitas air, temperature, derajat keasaman ( pH) , kandungan oksigen terlarut, dan senyawa beracun yang meliputi belerang dan ammonia. ( agus,2003)
Untuk menjaga kualitas air pada pembenihan udang, perlu juga diterapkan system aerasi. System aerasi akan lebih efektif jika menggunakan blower yang berfungsi sebagai erator. Aerasi diberikan terus-menerus dan alirkan melalui pipa paralon (PVC). Ujung pipa dihubungkan dengan slang plastic kecil yang pada ujungnya diberi pemecah gelombang agar lebih efektif. Manfaat aerasi adalah sebagi berikut :
· Meningkatkan atau memepertahankan kandungan oksigen terlarut
· Mempertahankan larva udang dan makan tetap tersuspensi dan
· Mengoksidasi gas-gas beracun
c. Pengaturan aerasi dan pemasangan saringan pipa sirkulasi : Aerasi dipasang pada bak pemeliharaan larva udang vannamei berjumlah 12 titik. Pengaturan aerasi dilakukan dengan cara mengatur aerasi sampai bertekanan sedang, dan tekanan aerasi dikurangi menjadi kecil pada saat stadia naupli. Tujuannya untuk menghindari timbulnya gerakan air (riak) sehingga akan mengganggu proses perkembangan dan pertumbuhan naupli ke stadia selanjutnya. Cara pemasangan aerasi yaitu dengan menyesuaikan ukuran panjang dan pendeknya aerasi dan selalu memastikan aerasi terpasang kuat pada kran aerasi. Jarak antar titik selang aerasi tidak kurang dari 40 cm. Kemudian pasang timah pemberat dan batu aerasi pada selang aerasi. Jarak batu aerasi dengan lantai maksimal 10 cm. Serta lakukan pemasangan saringan pipa aerasi.
Persiapan Bak
Di PT CPB Lampung modul B bak pemeliharaan larva no 15 dan 16 dilapisi dengan cat berwarna hijau dan dilengkapi dengan pipa saluran udara (instalasi aerasi), instalasi air laut, instalasi alga, dan saluran pengeluaran yang dilengkapi saringan sirkulasi dan pipa goyang, serta terpal sebagai penutup agar suhu stabil selama proses pemeliharaan larva. Kemiringan bak adalah 2-5 %, hal ini, bertujuan untuk memudahkan dalam pengeringan. Adapun sistem aerasi pada bak pemeliharaan larva menggunakan aerasi gantung dengan jarak 5 cm dari dasar bak agar sisa pakan dan kotoran tidak teraduk.
Persiapan bak pemeliharaan larva dilakukan sama dengan bak pemeliharaan induk, yang mana pencucian bak dilakukan dengan menggunakan detergen dan dilarutkan dengan air laut kemudian dinding dan dasar bak digosok-gosok dengan menggunakan scoring pad dan dasar bak digosok dengan menggunakan spon untuk menghilangkan kotoran yang menempel di bak, kemudian dibilas dengan air tawar sampai bersih setelah itu siram dengan larutan kaporit 60% sebanyak 100 ppm ke seluruh permukaan bak yang berfungsi untuk membersihkan bak dari penyakit yang masih tersisa di bak pemeliharaan sebelumnya dan biarkan hingga kering.
Kemudian dilakukan pengeringan selama beberapa hari. Pencucian dan pengeringan bak ini bertujuan untuk menghilangkan dan mematikan mikroorganisme pembawa penyakit. Selang, pemberat dan batu aerasi direndam dan dicuci kemudian di jemur guna untuk menghilangkan dan mematikan mikroorganisme pembawa penyakit yang kemungkinan besar bisa terbawa oleh selang aerasi tersebut. Apabila bak akan digunaan, maka bak dan perlengkapan lainnya dicuci kembali dengan diterejen. Setelah persiapan selesai, maka bak sudah siap digunakan untuk pemeliharaan larva.
Persiapan media dan persiapan penebaran naupli
a. Pengaturan air : Pengaturan air yang dilakukan di Fire Production Hatchery 5 Module E di bak pemeliharaan larva udang vannamei dilakukan dengan cara flow trough dimana terdapat air masuk dan air yang keluar dengan ketinggian air dipertahankan 40 cm. Pengisian air/stok air 30 ton dengan perincian 28 ton air laut dan 2 ton cheto (pakan alami) sebelum naupli ditebar atau naupli masuk kedalam bak pemeliharaan.
b. Penyetelan aerasi (dengan tekanan kecil pada saat stadia naupli).
c. Pemberian treatment dengan menggunakan EDTA 20 ppm selama 4-5 jam sebelum naupli masuk.
d. Penebaran naupli : Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) sebelum naupli ditebar ke dalam bak perlu diperhatikan salinitas, kondisi naupli, dan suhu air media. Ciri naupli yang sehat, gerakannya sangat aktif terutama jika kena sinar. Dan bila terjadi perbedaan suhu dan salinitas, maka dilakukan proses penyesuaian yang dikenal dengan proses aklimatisasi. Aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara, air media yang di dalam bak dialirkan ke dalam baskom yang berisi naupli dengan slang plastik yang berdiameter kecil, sehingga aliran airnya hanya sebesar benag jahit. Untuk penurunan kadar garam sebesar 1 permil diperlukan waktu antara 15-30 menit. Apabila salinitas antara air media pada bak pemeliharaan sudah sama dengan air media pada baskom naupli, maka proses akilmatisasi salinitas dianggap selesai. Setelah aklimatisasi selesai naupli ditebarkan ke dalam bak pemeliharaan dengan menjungkirkan baskom yang berisi naupli perlahan-lahan. Padat tebar nauplii yang aman berkisar 100-150 ekor/L.
Naupli yang akan ditebar adalah naupli yang berasal dari MNPD PT. Central Pertiwi Bahari. Penebaran naupli dilakukan pada malam hari, hal ini dilakukan dengan harapan untuk menghindari fluktuasi suhu yang terlalu tinggi terhadap lingkungan. Naupli yang sudah dihitung kemudian diseser dengan menggunakan saringan, ditempatkan terlebih dahulu kedalam ember kecil yang sudah diberi air laut kemudian naupli dibilas menggunakan formalin sebanyak 1 ml yang bertujuan untuk menghilangkan jamur dan bakteri yang terdapat pada naupli.
e. Lakukan treatment kembali dengan menggunakan :
· Prise-vs 1 ppm : 1 jam setelah naupli masuk.
· Probiotik 1,5 ppm : dilakukan pada pagi hari
· Molls 1,5 ppm : dilakukan pada pagi hari
f. Setelah memasuki stadia zoea 1 tambahkan AHCM sebanyak 2 ppm dan AGP 1 ppm dengan selisih 1 jam pada waktu pagi hari dengan perincian 1 liter untuk 1 bak.
Penebaran Larva
Penebaran larva dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu yang terlalu tinggi. Menurut Wyban dan Sweeney (1991), pemindahan naupli sebaiknya dilakukan pada saat naupli mencapai stadia N 4 - 5, karena pada stadia itu naupli sudah dianggap cukup kuat.
Di PT CPB Lampung pemindahan larva udang dilakukan pada saat stadia N4– 5, karena stadia N 4 – 5 sudah dianggap cukup kuat.Jumlah naupli yang ditebar adalah 6.300 ekor.
2. Tahap Pemeliharaan
a. Pengamatan Kondisi dan Perkembangan Larva
Pengamatan kondisi dan perkembangan larva penting dilakukan karena larva udang dalam hidupnya mengalami beberapa stadia. Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk mengetahui kondisi fisik dan perkembangan tubuh larva yang dapat di gunakan untuk menghitung populasi sehingga dapat menentukan jumlah pakan yang diberikan.
Untuk mengetahui kondisi perkembangan larva dan kondisi air pemeliharaan larva maka dilakukan pengamatan harian mengenai suhu, salinitas, dan keaktifan gerakannya. Sedangkan untuk pengamatan mingguan yang meliputi pengamatan suhu, pH, DO, salinitas dan NH3, yang dilakukan pada pagi hari sebelum penyiponan dan pergantian air.
b. Pengelolaan Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air merupakan hal yang mutlak dilakukan dalam usaha pembenihan udang. Pengelolaan kualitas air tersebut dilakukan terhadap media pemeliharaan induk dan media pemeliharaan larva.
Pengelolaan kualitas air dalam media pemeliharaan induk udang vaname merupakan bagian yang penting karena berpengaruh besar terhadap keberhasilan proses budidaya selanjutnya. Untuk menjaga kualitas air agar tetap stabil pada saat pemeliharaan induk dilakukan pergantian air lama dengan air baru sebanyak 50 – 80% setiap hari yang dilakukan pada pagi hari. Pengamatan air dilakukan bersamaan dengan pembuangan sisa pakan dan kotoran udang serta kulit udang yang sudah moulting, dengan menyeroknya didasar bak induk menggunakan serokan, sebelum penyerokan sisa pakan dan kotoran udang, aerasi terlebih dahulu dimatikan agar mudah melakukan penyerokan karena sisa pakan dan kotoran udang tersebut tidak berberai.
Lakukan pengisian air baru, hasil pengukuran kualitas air yang diperoleh yaitu suhu 28 – 30 0C, salinitas 28 – 32 ppt, pH 7,5 – 8,5, DO 4-5 ppm. Hal ini tidak jauh beda dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) yaitu suhu 29 – 32 0C, salinitas 29 – 34 ppt, pH 7,5 – 8,5, dan DO 5 ppm.
Hasil itu didapat karena dilakukan pengelolaan kualitas air yang baik, dengan pergantian air setiap pagi hari dan pembuangan sisa pakan dan kotoran udang, serta pengontrolan aerasi secara rutin.
Pengelolaan kualitas air pada media pemeliharaan larva udang vaname dilakukan dengan memonitoring kualitas air, dimana dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari. Parameter yang dilakukan monitoring rutin adalah suhu dengan tujuan agar selama masa pemeliharaan proses metabolisme dan metamorfosis larva lancar yaitu berkisar 29 – 30 0C.
Sedangkan untuk pengecekan parameter kualitas air lainnya selama pemeliharaan larva dilakukan oleh petugas laboratorium hama dan penyakit milik BBAP Situbondo. Parameter lainnya yaitu pH berkisar pada 7,5 – 8,5. Salinitas 29 – 34, dan kadar nitrit maksimum 0,1 ppm, hal ini tidak jauh beda dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) yaitu suhu 29 – 32 0C, salinitas 29 – 34 ppt, pH 7,5 – 8,5, dan DO 5 ppm. Hasil itu juga didapat karena dilakukan pengelolaan kualitas air yang baik, dengan pergantian air setiap pagi hari dan pembuangan sisa pakan dan kotoran udang, serta pengontrolan aerasi secara rutin.
Selain pengukuran parameter-parameter tersebut dilakukan pula pergantian dan penambahan air secara sirkulasi dengan cara melihat air secara visual. Bila dipermukaan air telah banyak gelembung-gelembung busa yang telah menumpuk dan gelembung tersebut tidak dapat pecah kembali maka air dalam kondisi jenuh. Pergantian air pada awal penebaran naupli adalah sekitar 20 % dari kapasitas wadah, saat stadia zoea di tambahkan sampai 30%
Pergantian air dilakukan setelah mencapai stadia mysis 3 sampai dengan PL 5 berkisar 10 – 30 %. Pergantian ini dilakukan karena mysis 3 sudah termasuk udang remaja sehingga anggota tubuh sudah sempurna dan tahan terhadap guncangan air dan juga tidak lolos dalam penyiponan. Pergantian air ini dilakukan dengan membuang air didalam serokan yang berukuran paling kecil dengan menggunakan gayung, jika sudah memasuki stadia MP (mysis ke PL) pergantian air dilakukan dengan cara penyiponan yang diujungnya dibalut kain kasa yang berukuran kecil, dan PL 5 sampai dengan panen 30 – 50 % dari volume wadah yang terisi, serta penambahan air dari wadah alga. Sebelum dilakukan penambahan alga dilakukan pergantian air dengan membuang air dengan gayung didalam serokan agar naupli tidak ikut keluar. Hal ini terjadi bila warna air berubah coklat akibat pakan yang menumpuk dan melayang-layang
Sedangkan pada bak pemeliharaan larva pergantian air dilakukan bersamaan dengan penyiponan sisa pakan dimana air dikeluarkan bersama kotoran yang terbawa oleh selang sipon. Pergantian air dilakukan setiap pagi hari sebanyak 20 %. Pergantian air dilakukan untuk mengganti air lama dengan air baru dan penyiponan dilakukan untuk membuang sisa-sisa endapan yang berasal dari kotoran udang (feses dan kulit udang hasil moulting) dan sisa pakan yang tidak dimakan atau sudah busuk. Sedangkan penyiponan dilakukan dengan menggunakan pipa PVC yang berdiameter ½ inchi. Penyiponan dilakukan dengan cara melihat secara visual bila dasar bak pemeliharaan larva telah mengendap banyak kotoran. Sebelumnya aerasi di matikan terlebih dahulu agar larva tersebut berada dipermukaan air.
Kegiatan pemeliharaan air didalam pemeliharaan larva harus dilakukan, karena hal ini sangat sensitif terhadap tingkat kehidupan larva harus dapat dipertahankan agar tetap stabil sehingga tidak terjadi perubahan yang drastis terhadap persyaratan fisik dan kimia air. Untuk menjaga kualitas air dalam media pemeliharaan, bak pemeliharaan ditutupi dengan terpal. Pada saat pagi sampai sore hari terpal dibuka untuk menjaga kestabilan suhu dan plankton dalam wadah pemeliharaan larva dapat berfotosintesis.
c. Manajemen Pakan
Pengelolaan pakan yang diberikan pada larva udang vaname selama proses pemeliharaan ada dua jenis yaitu pakan alami (phytoplankton dan zooplankton) dan pakan buatan masing-masing pakan tersebut diberikan dengan jumlah dan frekuensi tertentu sesuai dengan stadia larva.
- Pengelolaan Pakan alami
Pemberian pakan ini dilakukan untuk memacu pertumbuhan larva udang vannamei. Jenis pakan alami yang diberikan pada larva udang vannamei di PT. Central Pertiwi Bahari yaitu chaetoceros, thallasiosera dan Artemia sp. Dalam prakteknya pemberian pakan alami fitoplankton Chaetoceros diberikan pada saat naupli masuk yaitu sebanyak 2 ton pada bak no 57 dan 69 dan diberikan sampai stadia PL 3. Menurut Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa pemberian Chaetoceros sp dilakukan mulai dari stadia zoea 1 – mysis 3, sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan dikarenakan pada stadia ini larva udang putih vannamei masih memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai makanan.
Pemberian Chaetoceros sp bertujuan untuk meningkatkan anti body yang sangat dibutuhkan oleh larva udang vannamei terutama pada fase-fase transisi seperti dari stadia naupli ke stadia zoea, yang mana pada fase ini sering dikenal dengan istilah zoea syndrome atau zoea lemah, yaitu larva kelihatan lemah dan tubuh kotor yang dapat menyebabkan mortalitas hingga 90%. Selain itu, Chaetoceros sp mampu menekan laju pertumbuhan bakteri Vibrio harvey selama proses pemeliharaan larva. Kultur Chaetoceros dilakukan dengan 3 cara, yaitu skala laboraturium, skala semi massal (Intermediate) dan skala Massal. Pemberiannya dilakukan dengan cara memompa Chaetoceros langsung ke bak pemeliharaan dengan selang.
Sedangkan pakan alami fitoplankton thallasiosera diberikan pada saat memasuki stadia mysis 1 atau boleh juga diberikan pada saat larva berada pada stadia zoea 3.2. Keberadaan pakan alami dalam bak pemelihaharaan larva udang vannamei setiap harinya pada waktu pagi, siang dan malam hari dengan cara pengambilan sampel air yang berada didalam bak dan diidentifikasi menggunakan mikroskop yang dilakukan dilaboratorium untuk mengetahui jumlah pakan alami fitoplankton chatoceros dan thallasiosera.
Dan untuk Artemia salina merupakan pakan alami jenis zooplankton yang diberikan pada larva udang mulai dari stadia larva mysis 3 – post larva. Pemberian nauplius artemia pada bak no 57 dan 69 dilakukan sebanyak 3 kali sehari pada waktu pagi hari, siang dan malam hari. Pemberian nauplius artemia dikarenakan banyak mengandung nilai nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh larva udang seiring dengan peningkatan nilai usaha pemeliharaan larva dalam masalah kualitas larva. Di samping itu, nauplius artemia merupakan zooplankton yang bergerak aktif sehingga dapat merangsang dan meningkatkan nafsu makan larva udang.
- Pakan Buatan
Pakan buatan mulai diperlukan ketika larva memasuki stadium zoea. Pakan buatan ini ada yang dijual dalam bentuk kalengan maupun bungkusan. Dosis pakan yang diberikan pada larva tidak dihitung berdasarkan jumlah populasi larva, tetapi diukur dengan satuan ppm, sebab larva membutuhkan pakan yang tersedia setiap saat. Yang dimaksud dengan ppm adalah gram/ton volume air media yang jika pakan berbentuk tepung, sedangkan yang cair ml/ton. Jenis pakan yang digunakan adalah PL 00, 01, 02, 03 dan Flake. Prosedur pemberian pakan yaitu dengan cara pakan terlebih dahulu ditimbang yang perhitungannya sesuai dengan program pemberian pakan buatan yang berlaku dihatchery unit 5. Setelah selesai ditimbang pakan dimasukkan ke dalam ember kemudian diberi air dan diaduk sampai merata selanjutnya diberikan dengan cara ditebar menggunakan gayung. Pemberian pakan buatan dimulai dari stadia zoea sampai PL dan dilakukan sebanyak delapan kali sehari dengan dosis yang berbeda pada setiap stadia. Dengan pemberian pakan ini maka larva udang vannamei dapat mengalami pertumbuhan.
- Pemberian probiotik
Pemberian probiotik sanolife yang mengandung bakteri Bacillus. Pemberian Bacillus ini untuk menguraikan bahan-bahan organik berupa sisa pakan dan kotoran yang berada di media pemeliharan agar tidak menjadi racun. Pemberian probiotik ini diberikan setiap hari pada saat memasuki stadia zoea sampai post larva dan dilakukan satu kali sehari dengan dosis yang disesuaikan pada setiap stadia larva.
- Pemberian Pakan
Kegiatan pemberian pakan untuk larva udang vannamei dalam bak 15 dan 16 pada module B hatchery 5 dilakukan sebanyak 8 kali dalam sehari sesuai dengan dosis dan jadwal pemberian pakan yang telah ditentukan. Jenis pakan yang diberikan adalah pakan alami yang dikelola dan disiapkan oleh bagian algae dan pakan buatan yang telah disiapkan oleh departmenet FPD dari pabrik pakan larva udang. Pemberian pakan alami berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan larva udang vannamei. Sedangkan pakan buatan berfungsi sebagai pakan tambahan dari pakan alami karena pakan alami keberadaannya harus dikultur untuk menyediakan stok pakan alami berupa chaetoceros dan thallasiosera. Adapun data mengenai jadwal pemberian pakan untuk larva udang vannamei dalam bak 15 dan 16 pada module E hatchery 5 adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Prosedur Pemberian Pakan
Jenis Pakan | Stadia Larva | Banyaknya Pemberian | Waktu Pemberian | Keterangan |
Pakan buatan | Naupli, Mysis, Zoea
Post Larva | 8 Kali sehari
12 Kali | 07.30 WIB 11.00 WIB, 13.00 WIB, 16.00 WIB, 19.00 WIB, 23.00 WIB, 01.00 WIB, 05.00 WIB. 07.30 WIB, 09.00 WIB, 11.00 WIB, 13.00 WIB, 15.00 WIB, 16.00 WIB, 19.00 WIB, 21.00 WIB, 23.00 WIB, 01.00 WIB, 03.00 WIB, 05.00 WIB.
|
|
Pakan alami Artemia : Artemia cooked (rebus)
Artemia hidup
Algae |
Mulai dari stadia Zoea 2
Mysis 3 sampai Post Larva
Naupli sampai Post Larva
|
Setiap hari pada pagi hari
Setiap hari pada pagi hari
3-4 Kali
|
08.00 WIB
08.00 WIB
06.30–10.00 WIB, 13.00-15.00 WIB, 20.00-22.00 WIB, 24.00-03.00 WIB. |
Artemia cooked (rebus) tetap diberikan selama stadia mysis untuk menjamin stadia tersebut mendapatkan artemia. Pada stadia MPL (Mysis Post Larva) sebagian artemia diberikan dalam keadaan hidup dan sebagian artemia direbus. Artemia hidup diberikan setelah mencapai stadia post larva 100%.
Pemberian jam ke 4 pada pukul 24.00sampai 03.00 WIB adalah pemberian alternatif jika dibutuhkan
|
Tabel 3. Jadwal Pemberian Pakan Pada bak 15 dan 16
Jenis Pakan | Stadia Larva | Banyaknya Pemberian | Waktu Pemberian | Keterangan |
Pakan buatan | Naupli sampai Post Larva
| 8 Kali sehari
| 07.30 WIB 11.00 WIB, 13.00 WIB, 16.00 WIB, 19.00 WIB, 23.00 WIB, 01.00 WIB, 05.00 WIB. | Pemberian banyaknya pakan pada bak 15 dan 16 pada module E hatchery 5 mulai dari stadia larva sampai post larva dalam prakteknya hanya 8 kali banyaknya pakan yang diberikan setiap harinya. |
Pakan alami Artemia : Artemia cooked (rebus)
Artemia hidup
Algae |
Mulai dari Mysis 2-Mysis 3
Mysis 3 sampai Post Larva
Naupli sampai Post Larva
|
3 Kali sehari
3 Kali sehari
3-4 Kali sehari
|
08.00 WIB, 14.00 WIB, 20.00 WIB.
08.00 WIB, 14.00 WIB, 20.00 WIB
06.30–10.00 WIB, 13.00-15.00 WIB, 20.00-22.00 WIB, 24.00-03.00 WIB. |
Artemia cooked (rebus) direbus selama kurang lebih 15 menit.
|
d. Pengendalian Hama dan Penyakit
Dalam kegiatan pembenihan, penyakit merupakan salah satu permasalahan yang dapat mengakibatkan kerugian. Dengan demikian, pengendalian penyakit mutlak dilakukan dalam kegiatan usaha pembenihan udang vaname. Pengendalian penyakit dilakukan dengan menggunakan prinsip dasar yaitu tindakan pencegahan dan pengobatan. Fluktuasi udara yang cepat berubah mempengaruhi lingkungan pemeliharaan larva udang vaname yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme patogen umumnya memiliki siklus hidup yang pendek namun cepat berkembang.
Pengendalian hama dan penyakit pada larva persiapan bak, media, pengelolaan kualitas air, serta pemeliharaan nauplius yang baik merupakan tindakan yang sangat berpengaruh pada pengendalian penyakit. Selain itu penggunaan obat-obatan juga dapat diberikan sebagai alternatif. Untuk mencegah timbulnya penyakit pada pemeliharaan larva dilakukan juga pemberian obat-obatan yang aman seperti treplan, iodin, atau EDTA setiap tiga hari sekali, sesuai dengan dosis.
Jenis organisme yang umumnya menyerang larva udang vaname adalah dari golongan protozoa, virus, jamur, bakteri dan cacing. Oleh karena itu harus dilakukan dengan cermat, karena merupakan pusat proses produksi. Baik itu input dari induk, pakan alami, pakan buatan maupun air media pemeliharaan. Salah satu penyakit larva yang sulit untuk dilakukan pencegahan dan pengobatan adalah dari golongan virus yaitu IHHNV (Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus), TSV (Taura Syndrome Virus), WSSV atau SEMBV (White Spote Syndrome Virus) dan YHV (Yellow Head Virus).
Selama melakukan praktek tidak ada penyakit serius yang menyerang larva udang vaname. Akan tetapi, perlu diwaspadai adanya serangan penyakit. Salah satu pencegahan dilakukan adalah dengan membersihkan lingkungan yaitu melalui penerapan biosecuriti dengan menggunakan PK atau kaporit secukupnya ditempatkan pada awal pitu masuk sebelum memasuki dan akan memasuki ruangan dan sanitasi peralatan yang dilakukan sebelum dan sesudah pemakaian peralatan serta dilakukan pergantian air dan menyipon sisa-sisa pakan serta kotoran udang yang ada didalam bak.
3. Pemanenan
Pemanenan benur sangat tergantung pada permintaan konsumen baik waktu pemanenan, jumlah dan ukuran. Sebagian besar konsumen meminta agar pelaksanaannya dilakukan pada sore atau malam hari karena untuk menghindari suhu yang tinggi pada waktu penebaran. Adapun ukuran yang sering diminta oleh konsumen antaraPL10–15.
Panen total dilakukan karena konsumen meminta atau membeli benur dengan jumlah yang banyak atau panen total dilakukan untuk mentransfer larva udang vaname ke tambak milik PT. CPB. Sedangkan panen sebagian dilakukan karena konsumen meminta atau membeli benur dengan jumlah yang diinginkannya. Benur yang sudah di panen dipindahkan ketempat pengepakan atau pengemasan dengan diberi aerasi.
Pemanena total diawali dengan menurunkan volume air sampai 50 % dan memasang pipa saringan, pipa saringan dibuka dan air dari saluran pengeluaran ditampung pada ember berscren, terlebih dahulu mematikan aerasi. Pembuangan air beserta benur dilakukan pada ember berscren sampai air yang ada pada bak pemeliharaan benar-benar habis. Selanjutnya dilakukan penyiraman bak agar sisa-sisa benur tidak menempel pada bak. Kemudian di tampung pada ember plastik yang diberi aerasi.
Sedangkan pemanenan sebagian diawali dengan mematikan aerasi terlebih dahulu dan air dikeluarkan kurang lebih 60 – 70 % sehingga benur akan berenang kepermukaan air untuk mempermudah penyeseran yang dilakukan menggunakan seser. Hasil seseran di tampung pada ember plastik untuk dilakukan sampling. Kemudian satu persatu ember yang berisi benur hasil panen langsung ditransfer ke bagian pemackingan untuk dilakukan pananganan selanjutnya.
4.3. Hasil magang hatchery 5 module E
4.3.1. Tahap persiapan
Tahap persiapan yang dilakukan di Fry Production Hatchery 5 Module E Bak 57 dan 69 sebelum melakukan pemeliharaan larva udang vannamei yaitu sebagai berikut :
1. Persiapan wadah/sarana tempat pemeliharaan
a. Fumigasi ruangan
Bertujuan untuk mensterilan kondisi ruangan sebelum memulai pemeliharaan larva udang vannamei dengan menggunakan Larutan PK 100 gr dan formalin 250 ml. Diberbagai titik atau sudut ruangan selama 24 jam.
b. Pengelolaan air
Faktor yang sangat menentukan dalam rangka pemeliharaan larva udang vannamei adalah system pengelolaan air. Kebersihan air yang akan menetukan keberhasilan pembenihan udang. Dalam pemeliharaan larva udang vannamei dibutuhkan 2 jenis air, yakni air laut dan air tawar. Pengadaan air laut dapat diusahakan dengan menyedot air laut dengan menggunakan pompa dan pipa paralon (PVC) yang dipasang horisontal. Agar kebersihan laut yang akan disedot terjamin, diperukan jarak pengambilan air dari garis pantai paling tidak 300 m. Disamping itu, ujung pipa paralon hendaknya dilengkapi dengan saringan untuk menyaring kotoran. (Agus,2003). Ada beberpa alternative untuk memperoleh air laut yang bersih untuk keperluan pemeliharaan larva udang windu
· Pengadaan air laut melalui pipa yang ditanam dalam bak filter di dasar laut
· Pengadaan air laut langsung dari laut melalui pipa yang akan dipasang di atas dasar laut
· pengadaan air laut melalui pipa yang ditanam di pantai
· Pengadaan air laut melalui sumur yang dibuat di pantai
Air laut yang akan digunakan untuk pemeliharaan larva udang vannamei harus jernih dan higienis. Air laut dari pipa saluran utama akan mendapatkan perlakukan pembersihan. Adapun tahapan perlakuan tersebut adalah sebagai berikut :
· Air dalam pipa saluran pertama ditampung dalam bak penampungan selama semalam
· Dari bak penampungan, air dialirkan ke bak penyaringan. Bak penyaringan pertama dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama tidak diberi perlakuan, untuk masuk ke bagian kedua melewati pipa penghubung bagian atas. Ruang bagian kedua dilengkapi dengan saringan yang tersusun dari atas ke bawah: hampa busa, lapisan pasir yang sudah bersih, lapisan arang steril, lapisan ijuk, bentang jaring atas kasa, dan lapisan pecahan batu. Melalui pipa penghubung bagian bawah, air laut dari ruang bagian kedua masuk ke ruang bagianketiga. Ruang tersebut juga diberi lapisan penyaring sehingga air mengalami pencucian balik.
· Dari bak penyaringan pertama, air laut masuk ke bak penyaringankedua. Pada bagian sudut bak penyaring kedua diberi saringanseperti pada bak penyaring pertama
· Tahap terakhir dari perlakuan air laut yang akan digunakan untuk pemeliharaan larva udang vannamei adalah desinfeksi dengan menggunakan sinar ultraviolet ( UV). Perlakuan ini bertujuan untuk menghilangakan organisme yang tidak terinfeksi yang mungkin masih lolos melalui saringan.
Pengadaan air tawar umumnya dilakukan dengan menggnkan air dari sumur bor (artesis), air tawar selain berguna untuk keperluan pencucian peralatan, juga untuk mengatur salinitas air bagi keperluan pemeliharaan larva udang vannamei.
Untuk memepertahankan agar kualiatas air tetap baik, air harus selalu diganti dengan system pengakiran, aerasi, pemberian aerasi, pemberian makanan yang tidak berlebihan, serta pembersihan kotoran dengan peyiponan. Kualitas air dapat diketahui secra parametik dengan melakukan pemeriksaan, seperti salinitas air, temperature, derajat keasaman ( pH) , kandungan oksigen terlarut, dan senyawa beracun yang meliputi belerang dan ammonia. ( agus,2003).
Untuk menjaga kualitas air pada pembenihan udang, perlu juga diterapkan system aerasi. System aerasi akan lebih efektif jika menggunakan blower yang berfungsi sebagai erator. Aerasi diberikan terus-menerus dan alirkan melalui pipa paralon (PVC). Ujung pipa dihubungkan dengan slang plastic kecil yang pada ujungnya diberi pemecah gelombang agar lebih efektif. Manfaat aerasi adalah sebagi berikut :
· Meningkatkan atau memepertahankan kandungan oksigen terlarut
· Mempertahankan larva udang dan makan tetap tersuspensi dan
· Mengoksidasi gas-gas beracun
c. Pengaturan aerasi dan pemasangan saringan pipa sirkulasi
Aerasi dipasang pada bak pemeliharaan larva udang vannamei berjumlah 12 titik. Pengaturan aerasi dilakukan dengan cara mengatur aerasi sampai bertekanan sedang, dan tekanan aerasi dikurangi menjadi kecil pada saat stadia naupli. Tujuannya untuk menghindari timbulnya gerakan air (riak) sehingga akan mengganggu proses perkembangan dan pertumbuhan naupli ke stadia selanjutnya. Cara pemasangan aerasi yaitu dengan menyesuaikan ukuran panjang dan pendeknya aerasi dan selalu memastikan aerasi terpasang kuat pada kran aerasi. Jarak antar titik selang aerasi tidak kurang dari 40 cm. Kemudian pasang timah pemberat dan batu aerasi pada selang aerasi. Jarak batu aerasi dengan lantai maksimal 10 cm. Serta lakukan pemasangan saringan pipa aerasi.
d. Persiapan Bak.
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) persiapan bak melalui sanitsi bak yaitu bak pemeliharaan yang akan digunakan harus disuci hamakan sehingga bebas dari penyakit. Caranya, bak dikeringkan (dijemur), kemudian dasar dan dinding bak disikat. Agar lebih steril gunakan zat-zat kimia seperti klorin dengan dosis 100 ppm, KMnO4 (kalium permanganat) 10 ppm, dan formalin 50 ppm.
Persiapan bak yang digunakan untuk pemeliharaan larva udang vannamei di PT Central Pertiwi Bahari Lampung hatchery unit 5 module E bak no 57 dan 69 ini berbentuk persegi dan berkapasitas 60 ton serta memiliki kemiringan 3% ke arah pembuangan. Sebelum digunakan sebagai tempat pemeliharaan larva, bak terlebih dahulu harus dibersihkan dari kotoran yang menempel pada bak tersebut. Bak dibersihkan dengan cara dicuci menggunakan deterjen, seluruh permukaan dinding dan dasar bak digosok dengan menggunakan spon untuk menghilangkan kotoran yang menempel di bak, kemudian dibilas dengan air tawar sampai bersih setelah itu siram dengan larutan kaporit 60% sebanyak 100 ppm ke seluruh permukaan bak yang berfungsi untuk membersihkan bak dari penyakit yang masih tersisa di bak pemeliharaan sebelumnya dan biarkan hingga kering. Apabila bak akan digunaan, maka bak dan perlengkapan lainnya dicuci kembali dengan diterejen. Setelah persiapan selesai, maka bak sudah siap digunakan untuk pemeliharaan larva.
e. Berikan larutan formalin 2 liter untuk 2 ton air biarkan selama 2 jam. Kemudian keringkan bak selama 24 jam.
f. Persiapan media dan persiapan penebaran naupli
Pengaturan air
Pengaturan air yang dilakukan di Fire Production Hatchery 5 Module E di bak pemeliharaan larva udang vannamei dilakukan dengan cara flow trough dimana terdapat air masuk dan air yang keluar dengan ketinggian air dipertahankan 40 cm. Pengisian air/stok air 30 ton dengan perincian 28 ton air laut dan 2 ton cheto (pakan alami) sebelum naupli ditebar atau naupli masuk kedalam bak pemeliharaan.
a. Penyetelan aerasi (dengan tekanan kecil pada saat stadia naupli).
b. Pemberian treatment dengan menggunakan EDTA 20 ppm selama 4-5 jam sebelum naupli masuk.
c. Penebaran naupli : Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) sebelum naupli ditebar ke dalam bak perlu diperhatikan salinitas, kondisi naupli, dan suhu air media. Ciri naupli yang sehat, gerakannya sangat aktif terutama jika kena sinar. Dan bila terjadi perbedaan suhu dan salinitas, maka dilakukan proses penyesuaian yang dikenal dengan proses aklimatisasi. Aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara, air media yang di dalam bak dialirkan ke dalam baskom yang berisi naupli dengan slang plastik yang berdiameter kecil, sehingga aliran airnya hanya sebesar benag jahit. Untuk penurunan kadar garam sebesar 1 permil diperlukan waktu antara 15-30 menit. Apabila salinitas antara air media pada bak pemeliharaan sudah sama dengan air media pada baskom naupli, maka proses akilmatisasi salinitas dianggap selesai. Setelah aklimatisasi selesai naupli ditebarkan ke dalam bak pemeliharaan dengan menjungkirkan baskom yang berisi naupli perlahan-lahan. Padat tebar nauplii yang aman berkisar 100-150 ekor/L. Naupli yang akan ditebar adalah naupli yang berasal dari MNPD PT. Central Pertiwi Bahari. Penebaran naupli dilakukan pada malam hari, hal ini dilakukan dengan harapan untuk menghindari fluktuasi suhu yang terlalu tinggi terhadap lingkungan. Naupli yang sudah dihitung kemudian diseser dengan menggunakan saringan, ditempatkan terlebih dahulu kedalam ember kecil yang sudah diberi air laut kemudian naupli dibilas menggunakan formalin sebanyak 1 ml yang bertujuan untuk menghilangkan jamur dan bakteri yang terdapat pada naupli.
d. Lakukan treatment kembali dengan menggunakan :
· Prise-vs 1 ppm : 1 jam setelah naupli masuk.
· Probiotik 1,5 ppm : dilakukan pada pagi hari
· Molls 1,5 ppm : dilakukan pada pagi hari
e. Setelah memasuki stadia zoea 1 tambahkan AHCM sebanyak 2 ppm dan AGP 1 ppm dengan selisih 1 jam pada waktu pagi hari dengan perincian 1 liter untuk 1 bak.
4.3.2. Tahap pemeliharaan
Tahap pemeliharaan pada pemeliharaan larva udang vannamei meliputi :
a. Pengelolaan dan pengamatan kualitas air
Pengelolaan kualitas air merupakan salah satu faktor penting dalam operasional pemeliharaan larva. Kualitas air pada bak pemeliharaan larva harus dipertahankan sebaik mungkin. Kualitas air ini meliputi aspek fisik, kimia dan biologi. Pengelolaan kualitas air dimaksudkan untuk meningkatkan atau menjaga kualitas air supaya tetap dalam keadaan yang sesuai bagi pertumbuhan udang. Selama masa pemeliharaan dimungkinkan untuk tidak dilakukan pergantian air, maka pengamatan kualitas air dan jumlah makanan yang ada pada bak pemeliharaan larva harus benar-benar mendapatkan perhatian khusus. Monitoring kualitas air dilakukan setiap hari pada pagi, siang dan sore hari.
Pengelolaan kualitas air pada saat masa pemeliharaan larva udang vannamei di PT. Central Pertiwi Bahari Lampung Selatan dilakukan dengan cara pengukuran kualitas air dan pergantian air (water exchange). Hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa selain pengukuran parameter-parameter tersebut dilakukan pergantian dan penambahan air secara sirkulasi dengan cara melihat air secara visual, bila dipermukaan air telah banyak mengandung gelembung-gelembung busa yang telah menumpuk dan gelembung tersebut tidak dapat pecah kembali ini diasumsikan air pada kondisi jenuh dan telah terjadi banyak perombakan-perombakan gas di dalam air.
Pengisian air pada awal penebaran naupli adalah sekitar 30% dari kapasitas wadah, saat stadia zoea ditambah sampai 70%, stadia mysis 80% dan stadia post larva 100%. Menurut Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008), Pergantian air dilakukan setelah mencapai stadia mysis 3 sampai PL 5 berkisar 10-30% dan PL 5 sampai dengan panen 30-50% dari volume wadah yang terisi.
Pergantian air ini dilakukan pada saat memasuki stadia mysis 3 berkisar 10-30%, hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa pergantian air dilakukan setelah mencapai stadia mysis 3 sampai PL 5 berkisar 10-30% dan PL 5 sampai dengan panen 30-50% dari volume wadah yang terisi. Hal ini dilakukan berdasarkan pengamatan jika warna air sudah tampak keruh dan banyak terdapat busa. Pergantian air ini dimaksudkan untuk mengurangi kandungan bahan organik sehingga tidak menimbulkan penyakit pada larva. Pergantian air ini dilakukan dengan cara mengurangi volume air sedikit demi sedikit melalui pipa pembuangan.
Selain itu dilakukan monitoring kualitas air yang dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari, parameter air yang dilakukan secara rutin adalah sebagai berikut :
1. Suhu
merupakan salah satu parameter fisika pada kualitas air. Pengukuran suhu pada bak larva ini dilakukan dengan alat termometer yang telah terpasang pada tali diantara aerasi. Pengukuran suhu air dilakukan setiap hari pada waktu pagi, siang hari dan waktu malam hari. Secara rutin dengan tujuan agar selama pemeliharaan larva proses metabolisme dan metamorfosis larva lancar. Suhu pada pemeliharaan larva berada pada kisaran 30°C – 33°C. Suhu pada kisaran ini merupakan suhu yang cukup optimal bagi pertumbuhan larva udang vannamei. Hal ini sesuai dengan pendapat Haliman dan Adijaya (2003), suhu optimal pertumbuhan udang antara 26-32°C. Suhu berpengaruh langsung pada metabolisme udang, pada suhu tinggi metabolisme udang dipacu, sedangkan pada suhu yang lebih rendah proses metabolisme diperlambat. Bila keadaan seperti ini berlangsung lama, maka akan mengganggu kesehatan udang karena secara tidak langsung suhu air yang tinggi menyebabkan oksigen dalam air menguap, akibatnya larva udang akan kekurangan oksigen. Dalam pemeliharaan larva, suhu air dipertahankan dengan cara menutup bak dengan menggunakan plastik agar suhu air dapat terjaga pada kondisi yang sesuai bagi pertumbuhan udang.
2. Derajat keasaman (pH / potential of hydrogen)
Pengukuran pH pada bak larva udang dengan menggunakan alat pH meter. Pengukuran ini dilakukan dengan cara mengambil sampel pada bak larva dan diukur di laboratorium. Pengukuran pH ini dilakukan pada waktu pergantian stadia saat pergantian air karena kondisi bak yang berada dalam ruangan (hatchery), pH pada bak larva cenderung stabil yaitu berada pada kisaran 8,0 ─ 8,5. Hal ini sesuai dengan pendapat Elovaraa, A.K (2001) yang menyatakan bahwa pH untuk budidaya udang vannamei adalah sekitar 7,0 ─ 8,5. Nilai pH yang stabil dikarenakan kondisi bak larva berada dalam ruangan tertutup (hatchery) hal ini bertujuan agar udang dapat tumbuh dengan cepat. Selain itu dengan pH yang stabil diharapkan nafsu makan udang tetap tinggi. Apabila nilai pH tidak terjaga dengan baik maka secara tidak langsung akan mengakibatkan penurunan kualitas air. Hal ini juga berpengaruh pada aktifitas udang yang menyebabkan menurunnya tingkat pertumbuhan dan terganggunya metabolisme udang secara perlahan akan menggangu kesehatan udang.
3. Salinitas
Pengukuran salinitas ini dilakukan pada pagi hari saat pergantian air dengan menggunakan refraktometer. Hal ini bertujuan agar salinitas air yang baru tidak telalu jauh dengan salinitas air yang lama. Salinitas yang terdapat pada bak larva cenderung stabil pada kisaran 30 – 34 ppt. Kestabilan salinitas ini diharapkan udang dapat tumbuh dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Elovaraa, A.K (2001) menyatakan bahwa salinitas berada pada kisaran 0,5 – 35 ppt. Hal ini mengakibatkan energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi dibandingkan untuk pertumbuhan
4. Alkalinitas
Pengujian alkalinitas (CaCO3) ini dilakukan pada waktu persiapan bak untuk pemeliharaan kemudia pada stadia zoea 2, mysis 3, post larva 3, dan post larva 7. Alkalinitas merupakan kapasitas air untuk menurunkan tambahan asam tanpa menurunkan pH. Yang disebabkan oleh kandungan carbonat dan bicarbonat serta piroksida yang terkandung dalam media untuk memelihara larva udang vannamei. Menurut Elovaraa, A.K (2001) bahwa alkalinitas yang optimal bagi udang vannamei adalah lebih besar dari pada 100 ppm. Selain itu dua fungsi penting alkalinitas, yaitu sebagai sumber karbon untuk fotosintesis dan sebagai sistem penyangga (buffer) perubahan pH. Alkalinitas ini jika terlalu tinggi akan menyebabkan udang mengalami kekerasan kulit sehingga dalam pertumbuhannya sulit dan jika melakukan moulting akan berlangsung lama sehingga udang akan menguras tenaga lebih banyak.
5. Bahan organik (BO).
Bahan organik merupakan salah satu parameter kimia pada kualitas air yang perlu diuji. Penggunaan pakan pada pemeliharaan larva secara berlebihan dan hasil ekskresi merupakan beberapa penyebab bahan organik pada bak pemeliharaan meningkat. Pergantian air merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kandungan bahan organik yang terdapat dalam bak pemeliharaan. Hal ini dilakukan agar kandungan bahan organik tidak berubah menjadi senyawa beracun yang dapat mengakibatkan larva terserang penyakit. Selama pemeliharaan larva pemantauan kualitas air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pemeliharaan larva.
6. Kadar niterit
Kadar niterit pada pemeliharaan larva udang vannamei nilai maksimumnya yaitu 0,1 ppm
b. Manajemen Pakan
1. Penyediaan Pakan
Program pemberian pakan pada pemeliharaan larva udang vannamei merupakan langkah awal yang harus diperhatikan untuk menentukan baik jenis, ukuran frekuensi dan total kebutuhan pakan selama masa pemeliharaan (Adiwidjaya et al, 2005). Nutrisi dan pemberian pakan memegang peranan penting untuk kelangsungan pemeliharaan larva udang vannamei. Oleh karena itu, upaya perbaikan komposisi nutrisi dan perbaikan efisiensi penggunaan pakan tambahan perlu dilakukan guna menigkatkan produksi hasil perikanan dan mengurangi biaya pengadaan pakan, serta meminimalkan produksi limbah pada media budidaya, sehingga dapat tercipta budidaya udang yang berkelanjutan (Adiwidjaya et al, 2005).
Pengelolaan pakan harus dilakukan sebaik mungkin dengan memperhatikan apa, berapa banyak, kapan, berapa kali, dimana udang diberi pakan. Penerapan feeding ragim hendaknya disesuikan dengan tingkah laku kultivan, serta siklus alat pencernaan guna memaksimalkan penggunaan pakan (Tacon, A. 1987). Selain itu juga memperhatikan hal-hal berikut ini:
a) Jumlah pakan yang diberikan. Ditentukan oleh: jumlah tebar,nilai SR (survival rate) ,ukuran udang,dan tingkat feeding ratenya,lama cek ancho, kualitas air, fasilitas, tetapi untuk udang yang berumur 1 – 30 hari masih memakai feeding program. sedangkan kelanjutannya kita menggunakan kontrol ancho, dan cek saat sampling.
b) Cara pemberian pakan. pada pakan buatan misalnya harus dicampur dengan air agar pemberian pakan rata, cepat tenggelam, dan tidak berhaburan karena angin.
c) Kontrol pakan di ancho. Ancho adalah alat komunikasi harian antara teknisi dengan udang dalam hal jumlah pakan, nafsu makan, ukuran udang,jumlah udang,kesehatan udang, sehingga ancho harus bagus dan tempatnya yang datar, dan arusnya jangan terlalu kencang.
Jenis pakan yang diberikan pada larva udang vannamei selama proses pemeliharaan yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang biasa diberian pada larva uadang vannamei yaitu chaetoceros, thallasiosera dan Artemia sp. Pakan alami ini sangat dibutuhkan pada stadium akhir napulius (N-6) atau awal stadium zoea. dosis pakan alami yaitu sel/cc/hari atau individu /ekor larva/hari.
Ada dua jenis plankton atau organisme renik yang digunakan sebagai makanan alami larva udang vannamei
a) Plankton nabati atau phytoplankton, yang potensial adalah sekeltonema costatum, Chaetoceros calcitrans, thallasiosera, tetraslmis chuii, dan spirulina
b) Plankton hewani atau zooplankton, yang potensial adalah nauplius artemia.
2. Pengelolaan Pakan alami
Pemberian pakan ini dilakukan untuk memacu pertumbuhan larva udang vannamei. Jenis pakan alami yang diberikan pada larva udang vannamei di PT. Central Pertiwi Bahari yaitu chaetoceros, thallasiosera dan Artemia sp. Dalam prakteknya pemberian pakan alami fitoplankton Chaetoceros diberikan pada saat naupli masuk yaitu sebanyak 2 ton pada bak no 57 dan 69 dan diberikan sampai stadia PL 3. Menurut Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa pemberian Chaetoceros sp dilakukan mulai dari stadia zoea 1 – mysis 3, sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan dikarenakan pada stadia ini larva udang putih vannamei masih memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai makanan.
Pemberian Chaetoceros sp bertujuan untuk meningkatkan anti body yang sangat dibutuhkan oleh larva udang vannamei terutama pada fase-fase transisi seperti dari stadia naupli ke stadia zoea, yang mana pada fase ini sering dikenal dengan istilah zoea syndrome atau zoea lemah, yaitu larva kelihatan lemah dan tubuh kotor yang dapat menyebabkan mortalitas hingga 90%. Selain itu, Chaetoceros sp mampu menekan laju pertumbuhan bakteri Vibrio harvey selama proses pemeliharaan larva. Kultur Chaetoceros dilakukan dengan 3 cara, yaitu skala laboraturium, skala semi massal (Intermediate) dan skala Massal. Pemberiannya dilakukan dengan cara memompa Chaetoceros langsung ke bak pemeliharaan dengan selang.
Sedangkan pakan alami fitoplankton thallasiosera diberikan pada saat memasuki stadia mysis 1 atau boleh juga diberikan pada saat larva berada pada stadia zoea 3.2. Keberadaan pakan alami dalam bak pemelihaharaan larva udang vannamei setiap harinya pada waktu pagi, siang dan malam hari dengan cara pengambilan sampel air yang berada didalam bak dan diidentifikasi menggunakan mikroskop yang dilakukan dilaboratorium untuk mengetahui jumlah pakan alami fitoplankton chatoceros dan thallasiosera. Untuk keterangan mengenai hasil cek algae pada bak larva dapat dilihat pada Lampiran 1.
Dan untuk Artemia salina merupakan pakan alami jenis zooplankton yang diberikan pada larva udang mulai dari stadia larva mysis 3 – post larva. Pemberian nauplius artemia pada bak no 57 dan 69 dilakukan sebanyak 3 kali sehari pada waktu pagi hari, siang dan malam hari. Pemberian nauplius artemia dikarenakan banyak mengandung nilai nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh larva udang seiring dengan peningkatan nilai usaha pemeliharaan larva dalam masalah kualitas larva. Di samping itu, nauplius artemia merupakan zooplankton yang bergerak aktif sehingga dapat merangsang dan meningkatkan nafsu makan larva udang.
(a) (b)
(c)
Gambar 15. (a) Chaetoceros, (b) Thallasiosera dan (c) Artemia sp.
3. Pengelolaan pakan Buatan
Pakan buatan mulai diperlukan ketika larva memasuki stadium zoea. Pakan buatan ini ada yang dijual dalam bentuk kalengan maupun bungkusan. Dosis pakan yang diberikan pada larva tidak dihitung berdasarkan jumlah populasi larva, tetapi diukur dengan satuan ppm, sebab larva membutuhkan pakan yang tersedia setiap saat. Yang dimaksud dengan ppm adalah gram/ton volume air media yang jika pakan berbentuk tepung, sedangkan yang cair ml/ton. Jenis pakan yang digunakan adalah PL 00, 01, 02, 03 dan Flake. Prosedur pemberian pakan yaitu dengan cara pakan terlebih dahulu ditimbang yang perhitungannya sesuai dengan program pemberian pakan buatan yang berlaku dihatchery unit 5. Setelah selesai ditimbang pakan dimasukkan ke dalam ember kemudian diberi air dan diaduk sampai merata selanjutnya diberikan dengan cara ditebar menggunakan gayung. Pemberian pakan buatan dimulai dari stadia zoea sampai PL dan dilakukan sebanyak delapan kali sehari dengan dosis yang berbeda pada setiap stadia. Dengan pemberian pakan ini maka larva udang vannamei dapat mengalami pertumbuhan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
4. Pemberian probiotik
Pemberian probiotik sanolife yang mengandung bakteri Bacillus. Pemberian Bacillus ini untuk menguraikan bahan-bahan organik berupa sisa pakan dan kotoran yang berada di media pemeliharan agar tidak menjadi racun. Pemberian probiotik ini diberikan setiap hari pada saat memasuki stadia zoea sampai post larva dan dilakukan satu kali sehari dengan dosis yang disesuaikan pada setiap stadia larva. Untuk dosis pemberian probiotik pada bak no 57 dan 69 dapat dilihat pada Lampiran 3.
5. Pemberian Pakan
Kegiatan pemberian pakan untuk larva udang vannamei dalam bak 57 dan 69 pada module E hatchery 5 dilakukan sebanyak 8 kali dalam sehari sesuai dengan dosis dan jadwal pemberian pakan yang telah ditentukan. Jenis pakan yang diberikan adalah pakan alami yang dikelola dan disiapkan oleh bagian algae dan pakan buatan yang telah disiapkan oleh departmenet FPD dari pabrik pakan larva udang. Pemberian pakan alami berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan larva udang vannamei. Sedangkan pakan buatan berfungsi sebagai pakan tambahan dari pakan alami karena pakan alami keberadaannya harus dikultur untuk menyediakan stok pakan alami berupa chaetoceros dan thallasiosera. Adapun data mengenai jadwal pemberian pakan untuk larva udang vannamei dalam bak 57 dan 69 pada module E hatchery 5 adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Prosedur pemberian pakan
Jenis Pakan | Stadia Larva | Banyaknya Pemberian | Waktu Pemberian | Keterangan |
Pakan buatan | Naupli, Mysis, Zoea
Post Larva | 8 Kali sehari
12 Kali | 07.30 WIB 11.00 WIB, 13.00 WIB, 16.00 WIB, 19.00 WIB, 23.00 WIB, 01.00 WIB, 05.00 WIB. 07.30 WIB, 09.00 WIB, 11.00 WIB, 13.00 WIB, 15.00 WIB, 16.00 WIB, 19.00 WIB, 21.00 WIB, 23.00 WIB, 01.00 WIB, 03.00 WIB, 05.00 WIB.
|
|
Pakan alami Artemia : Artemia cooked (rebus)
Artemia hidup
Algae |
Mulai dari stadia Zoea 2
Mysis 3 sampai Post Larva
Naupli sampai Post Larva
|
Setiap hari pada pagi hari
Setiap hari pada pagi hari
3-4 Kali
|
08.00 WIB
08.00 WIB
06.30–10.00 WIB, 13.00-15.00 WIB, 20.00-22.00 WIB, 24.00-03.00 WIB. |
Artemia cooked (rebus) tetap diberikan selama stadia mysis untuk menjamin stadia tersebut mendapatkan artemia. Pada stadia MPL (Mysis Post Larva) sebagian artemia diberikan dalam keadaan hidup dan sebagian artemia direbus. Artemia hidup diberikan setelah mencapai stadia post larva 100%.
Pemberian jam ke 4 pada pukul 24.00sampai 03.00 WIB adalah pemberian alternatif jika dibutuhkan
|
Tabel 5. Jadwal pemberian pakan pada bak 57 dan 69
Jenis Pakan | Stadia Larva | Banyaknya Pemberian | Waktu Pemberian | Keterangan |
Pakan buatan | Naupli sampai Post Larva
| 8 Kali sehari
| 07.30 WIB 11.00 WIB, 13.00 WIB, 16.00 WIB, 19.00 WIB, 23.00 WIB, 01.00 WIB, 05.00 WIB. | Pemberian banyaknya pakan pada bak 57 dan 69 pada module E hatchery 5 mulai dari stadia larva sampai post larva dalam prakteknya hanya 8 kali banyaknya pakan yang diberikan setiap harinya. |
Pakan alami Artemia : Artemia cooked (rebus)
Artemia hidup
Algae |
Mulai dari Mysis 2-Mysis 3
Mysis 3 sampai Post Larva
Naupli sampai Post Larva
|
3 Kali sehari
3 Kali sehari
3-4 Kali sehari
|
08.00 WIB, 14.00 WIB, 20.00 WIB.
08.00 WIB, 14.00 WIB, 20.00 WIB
06.30–10.00 WIB, 13.00-15.00 WIB, 20.00-22.00 WIB, 24.00-03.00 WIB. |
Artemia cooked (rebus) direbus selama kurang lebih 15 menit.
|
c. Fase pertumbuhan
Siklus udang vannamei meliputi stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia postlarva. Menurut Sastradiharja Singgih (2003 : 12) terbagi menjadi 6 fase yaitu :
1) Fase Embrio : Dimulai pada tahap saat pembuahan sampai penetasan. Stadia perkembangan telur udang vannamei yaitu perkembangan telur dimulai dari beberapa stadia pembelahan, dimana pembelahannya dibagi beberapa tahap :
1. Stadia pembelahan 1 sel ( Fertillized Egg )
2. Stadia pembelahan 2 sel ( Two-Cell Egg )
3. Stadia pembelahan 4 sel ( Four-Cell Egg )
4. Stadia pembelahan 8 sel ( Eight-Cell Egg )
5. Stadia pembelahan 16 sel ( Sixteen-Cell Egg )
6. Stadia Morula ( Morula Stage )
7. Stadia Blastula (Blastula Stage )
8. Stadia Grastula (Grastula Stage )
9. Stadia Antogeni (Organogeni Stage)
10. Embryonic Stage
11. Embryonic Nauplius (Before Hatching)
12. Nauplii
2) Fase Larva : Terdiri dari stadia nauplii, Zoea, Mysis, dan Postlarva. akhir fase ini ditandai dengan warna tubuh yang transparan. Stadia larva dalam budidaya udang vannamei adalah sebagai berikut :
a) Stadia Naupli
Udang masih belum memiliki sistem pencernaan sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga udang masih belum membutuhkan makanan dari luar. Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini, larva berukuran 0,32 - 0,58 mm. Sistem pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga pada stadia ini larva udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar. Menurut Elovaara, A.K (2001) fase naupli dimulai dari pengeraman sampai hari ke-2 yaitu N1 sampai N2.
b) Stadia Zoea
Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) stadia selanjutnya adalah stadia zoea, stadia ini terjadi setelah naupli ditebar di bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Larva sudah berukuran 1,05 - 3,30 mm. Pada stadia ini, benih udang mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 2, zoea 3. Lama waktu proses pengantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya (mysis) sekitar 4 - 5 hari. Pada stadia ini udang dapat diberi pakan alami berupa artemia. Menurut Elovaara, A.K (2001) fase zoea dimulai dari hari ke-2 sampai hari ke-4 yaitu Z1, Z2, Z3.
c) Stadia Mysis
Menurut Haliman RW dan Adijaya D (2005) pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Benih pada stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva sudah berkisar 3,50 - 4,80 mm. Stadia ini memiliki 3 substadia, yaitu mysis 1, mysis 2, mysis 3 yang berlangsung selama 3 - 4 hari sebelum masuk pada stadia post larva. Menurut Elovaara, A.K (2001) fase mysis dimulai dari hari ke-5 sampai hari ke-10 yaitu M1, M2, M3.
d) Stadia Post larva
Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini benih udang sudah tampak seperti udang dewasa dan sudah mulai bergerak lurus ke depan. Sedangkan menurut Elovaara, A.K (2001) fase post larva dimulai dari hari ke-11 sampai hari ke-21 yaitu PL1 sampai M2.
3) Juvenil : Ditandai tanda dengan fluktuasi perbandingan ukuran tubuh yang mulai stabil.
4) Adultlescent (udang muda) : Proporsi ukuran tubuh mulai stabil dan mulai tumbuh alat kelamin berupa Petasma untuk udang jantan dan Thelicum pada udang betina.
5) Sub Adult (menjelang dewasa) : Ditandai dengan pematangan kelamin yaitu adanya spermatozoa pada ampula terminalis pada udang jantan dan spermatozoa dalam thelicum udang betina.
6) Adult (Dewasa) : Ditandai dengan kematangan gonad yang sempurna
d. Pengamatan pertumbuhan stadia larva
1. Pengamatan kondisi dan perkembangan larva
Pengamatan pertumbuhan stadia larva udang vannamei pada bak no 57 dan 69 hatchery unit 5 module E dilakukan 2 cara:
a) Pengamatan dilakukan dengan mengambil sample langsung dari bak pemeliharaan menggunakan backer glass transparan, kemudian diarahkan ke cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva, keaktifan gerakan dan nafsu makan larva. hal ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan larva, gerakan, dan sisa pakan.
b) Pengamatan dilakukan dengan cara mengambil beberapa ekor larva dan dilakukan diatas gelas objek, kemudian diamati di bawah mikroskop. Pengamatan ini dilakukan untuk mengamati morfologi tubuh larva, keberadaan parasit patogen yang menyebabkan larva terserang penyakit. Dengan mengetahui perkembangan larva maka juga dapat menentukan perubahan stadia, gerakan aktif juga menandakan bahwa larva tersebut baik.
Dari hasil pengamatan maka dapat diketahui perkembangan larva dari setiap stadia yaitu:
1). Stadia naupli
Stadia ini memiliki ciri-ciri yaitu badan berbentuk bulat telur, beranggota badan tiga dan masih memiliki cadangan kuning telur hal ini sesuai dengan pendapat Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005), yang menjelaskan bahwa stadia naupli masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga pada stadia ini larva udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar. Secara visual stadia naupli terlihat seperti laba-laba kecil dengan gerakan renang tersedat-sedat, lalu berhenti sesaat kemudian melanjutkan renang. Pembagian tubuh atas karapas dan abdomennya belum terlihat jelas dimana naupli 1 badan berbentuk bulat telur dengan tiga pasang anggota tubuh, naupli 2 pada ujung antena pertama terdapat satae yang panjang dan pendek, naupli 3 terdapat dua buah furtcel mulai tampak jelas dengan masing-masing tiga duri, tunas maxillped mulai tampak, naupli 4 masing-masing furtcel mulai tampak jelas terdapat empat buah duri, antena kedua beruas-ruas, naupli 5 tonjolan pada maxilliped suah mulai jelas, naupli 6 perkembangan satae semakin sempurna dan duri pada fortcel tumbuh makin panjang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar berikut :
Gambar 16. Nauplii
2). Stadia zoea
Stadia naupli akan berubah menjadi stadia zoea setelah ditebar pada bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Pada stadia ini zoea akan mengalami ganti kulit (moulting) hal ini sesuai dengan pendapat Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005), yang menjelaskan bahwa pada stadia ini benih udang mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 2, zoea 3. Lama waktu proses pergantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya sekitar 4-5 hari. Secara visual stadia ini memiliki ciri yang khas, yaitu terlihat adanya kotoran yang menempel pada ekor dan berenang maju.
(a) (b)
(c)
Gambar 17. (a) Zoea 1, (b) Zoea 2, (c) Zoea 3
Tabel 6. Ciri-ciri stadia zoea pada udang vannamei (Litopenaeus vannamei)
Stadia | Ciri-ciri yang menonjol |
Zoea 1 | Badan pipih dan karapas mulai nyata, mata mulai tampak, alat pencernaan makanan mulai jelas. |
Zoea 2 | Mata mulai bertangkai dan pada karapas sudah terlihat rostrum. |
Zoea 3 | Sepasang uropoda mulai berkembang, ruas-ruas perut mulai tumbuh. |
Sumber: Data Primer (2009).
3). Stadia Mysis
Pada stadia ini larva sudah hampir menyerupai bentuk udang yang bercirikan sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Ukuran larva berkisar antara 3 – 4,5 mm. Pada stadia ini berlangsung selama 3-4 hari dimulai dari stadia mysis 1-3 sebelum memasuki stadia post larva (PL), gerakannya mundur kebelakang. Hal ini sesuai dengan pendapat Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Benih pada stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva sudah berkisar 3,50 - 4,80 mm. Stadia ini memiliki 3 substadia, yaitu mysis 1, mysis 2, mysis 3 yang berlangsung selama 3 - 4 hari.
(a) (b)
(c)
Gambar 18. (a) Mysis 1, (b) Mysis 2, (c) Mysis 3.
Tabel 7. Ciri-ciri stadia mysis pada udang vannamei (Litopenaeus vannamei)
Stadia | Ciri-ciri yang menonjol |
Mysis 1 | Bentuk badan sudah menyerupai udang dewasa |
Mysis 2 | Tunas kaki renang (pleopoda) mulai tampak nyata tetapi belum beruas-ruas |
Mysis 3 | Tunas kaki bertambah panjang dan beruas |
Sumber: Data Primer (2009)
4). Stadia Post Larva
Pada stadia ini akan tampak jelas seperti udang dewasa. Larva sudah mulai bergerak aktif lurus ke depan serta mempunyai sifat karnivora dimulai dari post larva (PL 1) sampai dengan panen benur. Hal ini sesuai denan pendapat Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini benih udang sudah tampak seperti udang dewasa dan sudah mulai bergerak lurus ke depan.
Gambar 19. Post larva
2. Tingkat kelangsungan hidup
Berdasarkan pengamatan pada tingkat kelangsungan hidup larva udang (Survival Rate/SR) larva udang vannamei di PT. Central Pertiwi Bahari didapatkan data berdasarkan stadia Bak Volume Bak (Ton) Jumlah Tebar (ekor/bak) ฮฃ Larva Sampling Estimasi SR (%). Tingkat kelangsungan hidup larva udang vannamei pada bak no 57 memiliki perkembangan yang baik dibandingakan dengan bak no 69. Pada bak no 69 tingkat kelangsungan hidup mengalami penurunan yang cukup signifikan dikarenakan larva tersebut terkenan penyakit lumbact sehingga populasi larva berkurang dan tindakan yang dilakukan adalah dengan cara memindahkan sebagian larva yang masih memiliki kriteria layak untuk dilanjutkan pemeliharaan ke bak no 68 dengan stadia yang sama pada bak 69 yaitu post larva 5. Dan sebagian larva dibuang. Data selengkapnya mengenai kondisi pemeliharaan serta estimasi harian larva dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.
e. Pengendalian lingkungan
1. Pengelolaan Kualitas Air
Menurut Elovaara, A.K (2001) temperatur air untuk optimalkan pertumbuhan dan transisi dari satu larva ke larva berikutnya adalah 28 0 C, sedangkan salinitas adalah 26-30 ppt dan pH sekitar 8,0, namun pH 7,8 sampai 8,4 sudah cukup. Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993), dalam pengelolaan kualitas air ada beberapa perlakuan diantaranya :
a) Penyimponan. Dilakukan agar sisa-sisa pakan buatan maupun sisa-sisa metabolisme larva dapat dikeluarkan sehingga tidak terjadi penumpukan dan pembusukan dalam air media. Penyimponan dapat dilakukan setelah larva mencapai stadium mysis, frekuensinya 2 hari sekali, waktunya setelah 2 jam pemberian pakan. Cara menyimpon adalah sebagai berikut :
· Blower dimatikan,setelah itu slang yang akan digunakan utuk menyedot air diisi air penuh dan dipasang saringan pada salah satu ujungnya.
· Kemudian slang dimasukkan kedalam bak dan ujungnya yang dilepas tutupnya sehingga air keluar dengan sendirinya.
b) Pengaturan cahaya. Untuk stadium naupli dan zoea, keduaya bersifat plangtonis yang aktif berenang di permukaan air. Bagi kedua stadium ini diusahakan agar suasana bak pemeliharaan gelap dengan cara menutup bak. Apabila larva sudah masuk stadium post larva, bak pemeliharaan lebih sering dibuka dalam upaya penyesuaian lingkungan.
2. Penerapan bioscurity
Penerapan biosecurity dalam kegiatan pemeliharaan larva sangat diperlukan untuk mengurangi resiko penyebaran penyakit dari satu tempat ke tempat lain. Tindakan pencegahan dengan penerapan bioscurity dilakukan dengan menggunakan PK (Kalium Permanganat) sebanyak 1 ppm yang ditempatkan pada awal pintu masuk ruangan, hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa tindakan pencegahan penyakit dilakukan dengan penerapan biosecurity dengan menggunakan PK (Kalium Permanganat) sebanyak ±1,5 ppm yang ditempatkan pada awal pintu masuk sebelum memasuki dan akan memasuki ruangan. Dengan penerapan biosecurity ini maka diharapkan dapat meminimalisir bibit penyakit yang masuk ke area pembenihan.
Gambar 20. Biosecurity
3. Pengendalian Penyakit
Menurut Ghufron M.H Kordik K (2006) penyakit adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada fungsi atau struktur dari alat-alat tubuh atau sebagian alat tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada dasarnya penyakit yang menyerang udang datangnya melalui tiga faktor yaitu kondisi lingkungan (kualtas air), kondisi inang (Udang) dan jasad organisme/penyakit. Udang vannamei juga bukan spesies yang tahan terhadap berbagai macam penyakit, oleh karena itu perlu penerapan sitem budidaya terbaik agar kualitas udang yang dihasilkan lebih baik. Sedangkan menurut Elovaara, A.K (2001) penyakit yang menyerang udang vannamei yaitu infectious hypodemal and hematopoietic necrosis virus (IHHNV), Reo-like virus (REO), dan Taura Syndrome virus (TSV ), Dan yang disebabkan oleh bakteri adalah Lumbact (kunang-kunang).
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), gejala klinis penyakit udang yaitu : bercak putih oleh virus, kematangan cepat 2-3 hari, berenang ke dekat pematang kemudian mati, kepala kuning oleh virus YHV, kerusakan organ limfoid dan insang, serangan MBV mengakibatkan kerdil, penyakit bercak putih dicirikan dengan bagian kepala berukuran kecil.
4. Pengendalian hama dan penyakit
Pengendalian penyakit pada larva udang vannamei dilakukan dengan prinsip dasar yaitu tindakan pencegahan dan pengobatan. Dengan melakukan pencegahan diharapkan agar larva tidak sampai terserang penyakit yang dapat mengakibatkan mortalitas dan kualitas menurun. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan pemberian probiotik. Stadia yang paling rawan dalam pemeliharaan larva yaitu pada saat memasuki stadia zoea, jenis penyakit yang sering mewabah adalah jenis zoothamnium sp. dari golongan protozoa, menyerang ketika stadia mysis-1 dengan gejala gerakan lemah, kebanyakan larva berada di atas permukaan air, namun selama praktek tidak ditemukan adanya penyakit pada larva udang pada bak n0 57 dan 69 dihatchery unit 5 module E.
Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Elovaara, A.K (2001) yang menyatakan bahwa penyakit yang menyerang udang vannamei yaitu infectious hypodemal and hematopoietic necrosis virus (IHHNV), Reo-like virus (REO), and Taura Syndrome virus (TSV ). Protozoa disebabkan oleh air media dan peralatan yang kurang steril. Kurang sterilnya peralatan dimungkinkan pencucian menggunakan air tawar yang belum ditrietment terlebih dahulu. Tindakan untuk mengurangi populasi protozoa tersebut dengan melakukan pergantian air dan pemberian obat (treflan) sesuai dengan dosis yang dibutuhkan.
4.3.3. Proses panen
Proses panen terdapat pada PT. Central Pertiwi Bahari Fry Production Department Hatchery unit 5 module E bak no 57. Pada bak no 69 tidak dilakukan panen dikarenakan larva udang terkena penyakit lumbact. Persiapan panen nauplii dilakukan pada pukul 10.00 WIB, Pemanenan benur dilakukan mulai pada stadia PL10 atau ukuran PL telah mencapai 1 cm dan yang telah memenuhi kriteria-kriteria benur yang siap dipanen. Caranya adalah Menyiapkan bak dengan volume 200 liter dengan ketentuan salinitas 20 ppt yang terdiri dari 169 liter air laut murni dan 40 liter ait tawar. Siapkan bak yang berisi larutan iodine yang digunakan untuk mencuci seser yang berisi benur udang setelah menyeser dari saringan yang terletak dibawah saluran pembuangan
Prosedur pemanenan dimulai dengan pencabutan selang aerasi, membuka saluran pembuangan yang telah diberi saringan sehingga air yang keluar tidak deras dan benur tidak ikut keluar dengan mengurangi volume air hingga mencapai 50% dari daya tampung bak melalui pipa goyang atau pipa pengeluaran dan pipa saringan bagian dalam, air yang keluar ditampung dengan menggunakan saringan berbentuk persegi yang diletakan dibawah saluan pembuangan saringan tersebut berukuran 300ยต, kemudian benur diseser dan seser yang berisi benur tersebut melewati bak yang berisi larutan iodine. Setelah benur bekurang, pipa saringan bagian dalam dilepas untuk dipanen secara total. Kemudian pindahkan pada ember yang telah berisi air laut selanjutnya siap ditransfer ke area packing benur udang.
4.4. Hasil magang hatchery 5 module F
4.4.1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan yang dilakukan di fry production Hatchery 5 module F di bak 71 dan 74 sebelum melakukan pemeliharaan larva udang vanamei adalah sebagai berikut:
1. persiapan wadah atau sarana tempat peliharaan larva
Pencucian bak : Persiapan bak yang digunakan untuk pemeliharaan larva udang vannamei di PT Central Pertiwi Bahari Lampung hatchery unit 5 module f bak no 71 dan 74 ini berkapasitas 60 ton. Sebelum digunakan sebagai tempat pemeliharaan larva, bak terlebih dahulu harus dibersihkan dari kotoran yang menempel baik yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan maupun dari hasil metabolisme larva pada bak tersebut. Bak dibersihkan dengan cara dicuci menggunakan larutan dengan campuran 100 gr detergent : 100ml povodine iodine 10% :10 liter air tawar untuk mendapatkan dosis 1000ppm iodine aktif. Kemudian basahi bak dengan air laut dan air tawar atau air laut, setelah itu seluruh permukaan dinding dan dasar bak digosok dengan menggunakan scouring pad dengan larutan pencuci secara merata untuk menghilangkan kotoran yang menempel di bak, kemudian dibilas dengan air tawar sampai bersih. Dan sikat kembali dengan spon tanpa larutan detergent setelah itu bilas dengan air tawar sampai bersih. Kemudian keringkan selama minimal 2 hari dan maksimal 4 hari sebelum didisi air media. Ketika akan digunakan maka perlengkapan pun dicuci kembali dengan larutan detergent, sehingga bak siap digunakan untuk pemeliharaan larva.
2. Fumigasi ruangan
Bertujuan untuk mensterilkan kondisi ruangan sebelum memulai pemeliharaan larva udang vanamei dengan menggunakan larutan Potasium permanganat sebanyak 400gr-500gr dan formalin sebanyak 80ml-100ml, kedalam wadah diletakan di berbagai titik atau sudut ruangan selama 24 jam. Kemudian bersihkan ruangan dari sisa bahan fumigasi yang tercecer.
3. Pengelolaan air
Faktor yang sangat menentukan dalam pemeliharaan larva udang vannamei adalah sistem pengelolaan air. Kebersihan air akan menentukan keberhasilan pembenihan udang. Dalam pemelharaan larva udang vannamei dibutuhkan 2 jenis air, yakni air laut dan air tawar. Air laut dapat diperoleh dengan cara menyedot air laut menggunakan pompa dan pipa (PVC) yang dipasang secara horisontal. Agar kebersihan air laut yang akan disedot terjamin, diperlukan jarak pengambilan air dari garis pantai minimal 300 meter. Disamping itu, ujung pipa paralon hendaknya dilengkapi dengan saringan untuk menyaring kotoran (Agus, 2003). Ada beberapa allternatif untuk memperoleh air laut yang bersih untuk pemeliharaan larva udang.
Sistem aerasi diterapkan dengan tujuan untuk menjaga kualitas air pada pembenihan udang. System aerasi akan lebih efektif jika menggunakan blower yang berfungsi sebagai erator. Aerasi diberikan terus-menerus dan dialirkan melalui pipa paralon (PVC). Ujung pipa dihubungkan dengan selang plastik kecil yang pada ujungnya diberi pemecah gelombang agar lebih efektif. Beberapa manfaat aerasi diantaranya, meningkatkan dan mempertahankan kandungan Oksigen terlarut dan mengoksidasi gas-gas beracun.
4. Pengaturan aerasi dan pemasangan saringan pipa sirkulasi
Aerasi dipasang pada bak pemeliharaan larva udang vannamei berjumlah 12 titik. Pengaturan aerasi dilakukan dengan cara mengatur aerasi sampai bertekanan sedang, dan tekanan aerasi dikurangi menjadi kecil pada saat stadia naupli. Tujuannya untuk menghindari timbulnya gerakan air (riak) sehingga akan mengganggu proses perkembangan dan pertumbuhan naupli ke stadia selanjutnya. Cara pemasangan aerasi yaitu dengan menyesuaikan ukuran panjang dan pendeknya aerasi dan selalu memastikan aerasi terpasang kuat pada kran aerasi. Jarak antar titik selang aerasi tidak kurang dari 40 cm. Kemudian pasang timah pemberat dan batu aerasi pada selang aerasi. Jarak batu aerasi dengan lantai maksimal 10 cm. Pemasangan aerasi dilakukan 7 hari sebelum operasional. Serta lakukan pemasangan saringan pipa aerasi.
5. Penebaran naupli
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) sebelum naupli ditebar ke dalam bak perlu diperhatikan salinitas, kondisi naupli, dan suhu air media. Ciri naupli yang sehat, gerakannya sangat aktif terutama jika kena sinar. Dan bila terjadi perbedaan suhu dan salinitas, maka dilakukan proses penyesuaian yang dikenal dengan proses aklimatisasi. Aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara, air media yang di dalam bak dialirkan ke dalam baskom yang berisi naupli dengan slang plastik yang berdiameter kecil, sehingga aliran airnya hanya sebesar benag jahit. Untuk penurunan kadar garam sebesar 1 permil diperlukan waktu antara 15-30 menit. Apabila salinitas antara air media pada bak pemeliharaan sudah sama dengan air media pada baskom naupli, maka proses akilmatisasi salinitas dianggap selesai. Setelah aklimatisasi selesai naupli ditebarkan ke dalam bak pemeliharaan dengan menjungkirkan baskom yang berisi naupli perlahan-lahan. Padat tebar nauplii yang aman berkisar 100-150 ekor/L.
Naupli yang akan ditebar adalah naupli yang berasal dari MNPD PT. Central Pertiwi Bahari. Penebaran naupli dilakukan pada malam hari, hal ini dilakukan dengan harapan untuk menghindari fluktuasi suhu yang terlalu tinggi terhadap lingkungan. Naupli yang sudah dihitung kemudian diseser dengan menggunakan saringan, ditempatkan terlebih dahulu kedalam ember kecil yang sudah diberi air laut kemudian naupli dibilas menggunakan formalin sebanyak 1 ml yang bertujuan untuk menghilangkan jamur dan bakteri yang terdapat pada naupli.
6, Lakukan treatment kembali dengan menggunakan :
· Prise-vs 1 ppm : 1 jam setelah naupli masuk.
· Probiotik 1,5 ppm : dilakukan pada pagi hari
· Molls 1,5 ppm : dilakukan pada pagi hari
Setelah memasuki stadia zoea 1 tambahkan AHCM sebanyak 2 ppm dan AGP 1 ppm dengan selisih 1 jam pada waktu pagi hari dengan perincian 1 liter untuk 1 bak.
4.4.2. Tahap pemeliharaan
Tahap pemeliharaan pada pemeliharaan larva udang vannamei meliputi :
1. Pengelolaan dan pengamatan kualitas air
Pengelolaan kualitas air merupakan salah satu faktor penting dalam operasional pemeliharaan larva. Kualitas air ini meliputi aspek fisik, kimia dan biologi. Pengelolaan kualitas air bertujuan untuk meningkatkan atau menjaga kualitas air supaya tetap dalam keadaan yang sesuai bagi pertumbuhan larva udang vanname. Pengawasan kualitas air dilakukan setiap hari pada pagi, siang dan sore hari.
Pengelolaan kualitas air pada saat masa pemeliharaan larva udang vannamei di PT. Central Pertiwi Bahari Lampung Selatan dilakukan dengan cara pengukuran kualitas air dan pergantian air (water exchange). Hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa selain pengukuran parameter-parameter tersebut dilakukan pergantian dan penambahan air secara sirkulasi dengan cara melihat air secara visual. Bila dipermukaan air telah banyak mengandung gelembung-gelembung busa yang telah menumpuk dan gelembung tersebut tidak dapat pecah kembali ini diasumsikan air pada kondisi jenuh dan telah terjadi banyak perombakan-perombakan gas di dalam air.
Pengisian air pada awal penebaran naupli adalah sekitar 30% dari kapasitas wadah, saat stadia zoea ditambah sampai 70%, stadia mysis 80% dan stadia post larva 100%. Menurut Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008), Pergantian air dilakukan setelah mencapai stadia mysis 3 sampai PL 5 berkisar 10-30% dan PL 5 sampai dengan panen 30-50% dari volume wadah yang terisi.
Pergantian air ini dilakukan pada saat memasuki stadia mysis 3 berkisar 10-30%, hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa pergantian air dilakukan setelah mencapai stadia mysis 3 sampai PL 5 berkisar 10-30% dan PL 5 sampai dengan panen 30-50% dari volume wadah yang terisi. Hal ini dilakukan berdasarkan pengamatan jika warna air sudah tampak keruh dan banyak terdapat busa. Pergantian air ini dimaksudkan untuk mengurangi kandungan bahan organik sehingga tidak menimbulkan penyakit pada larva. Pergantian air ini dilakukan dengan cara mengurangi volume air sedikit demi sedikit melalui pipa pembuangan.
Selain itu dilakukan monitoring kualitas air yang dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari, parameter air yang dilakukan secara rutin adalah sebagai berikut :
a. Suhu : Pengukuran suhu pada bak larva ini dilakukan dengan alat termometer yang sebelumnya telah terpasang pada tali diantara aerasi. Pengukuran suhu air dilakukan setiap hari pada waktu pagi, siang hari dan waktu malam hari. Secara rutin dengan tujuan agar selama pemeliharaan larva proses metabolisme dan metamorfosis larva lancar. Suhu yang cocok untuk pertumbuhan larva udang vanname berkisar pada kisaran 30°C – 33°C. Suhu berpengaruh langsung pada metabolisme udang, pada suhu tinggi metabolisme udang dipacu, sedangkan pada suhu yang lebih rendah proses metabolisme diperlambat. Bila keadaan seperti ini berlangsung lama, maka akan mengganggu kesehatan udang karena secara tidak langsung suhu air yang tinggi menyebabkan oksigen dalam air menguap, akibatnya larva udang akan kekurangan oksigen. Di saat siang hari, suhu air dipertahankan dengan cara menutup bak dengan menggunakan Oki net agar suhu air dapat terjaga pada kondisi yang sesuai bagi pertumbuhan udang.
b. Derajat keasaman (pH / potential of hydrogen) : Pengukuran pH pada bak larva udang dengan menggunakan alat pH meter. Pengukuran ini dilakukan dengan cara mengambil sampel pada bak larva dan diukur di laboratorium. pH pada bak larva cenderung stabil yaitu berada pada kisaran 8,0 ─ 8,5. Selain itu dengan pH yang stabil diharapkan nafsu makan udang tetap tinggi. Apabila nilai pH tidak terjaga dengan baik maka secara tidak langsung akan mengakibatkan penurunan kualitas air. Hal ini juga berpengaruh pada aktifitas udang yang menyebabkan menurunnya tingkat pertumbuhan dan terganggunya metabolisme udang secara perlahan akan menggangu kesehatan udang.
c. Salinitas : Pengukuran salinitas ini dilakukan pada pagi hari saat pergantian air dengan menggunakan refraktometer. Hal ini bertujuan agar salinitas air yang baru tidak telalu jauh dengan salinitas air yang lama. Salinitas yang terdapat pada bak larva cenderung stabil pada kisaran 30 – 34 ppt. Kestabilan salinitas ini diharapkan udang dapat tumbuh dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Elovaraa, A.K (2001) menyatakan bahwa salinitas berada pada kisaran 0,5 – 35 ppt. Hal ini mengakibatkan energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi dibandingkan untuk pertumbuhan.
d. Alkalinitas : Pengujian alkalinitas (CaCO3) ini dilakukan pada waktu persiapan bak untuk pemeliharaan kemudia pada stadia zoea 2, mysis 3, post larva 3, dan post larva 7. Alkalinitas merupakan kapasitas air untuk menurunkan tambahan asam tanpa menurunkan pH. Yang disebabkan oleh kandungan carbonat dan bicarbonat serta piroksida yang terkandung dalam media untuk memelihara larva udang vannamei. Menurut Elovaraa, A.K (2001) bahwa alkalinitas yang optimal bagi udang vannamei adalah lebih besar dari pada 100 ppm. Selain itu dua fungsi penting alkalinitas, yaitu sebagai sumber karbon untuk fotosintesis dan sebagai sistem penyangga (buffer) perubahan pH. Alkalinitas ini jika terlalu tinggi akan menyebabkan udang mengalami kekerasan kulit sehingga dalam pertumbuhannya sulit dan jika melakukan moulting akan berlangsung lama sehingga udang akan menguras tenaga lebih banyak.
e. Bahan organik (BO). : Bahan organik berasal dari pakan yang tidak termakan oleh larva dan hasil eksresi larva udang, untuk mengurangi kadar bahan organik cara yang sering dilakukan yaitu melakukan pergantian air agar tidak berubah menjadi senyawa beracun untuk larva udang yang mengakibatkan penyakit untuk larva.
f. Kadar niterit : Kadar niterit pada pemeliharaan larva udang vannamei nilai maksimumnya yaitu 0,1 ppm
2. Manajemen Pakan
Makanan yang diberikan akan menentukan pertumbuhan larva udang. Pengelolaan pakan meliputi: pemilihan jenis pakan, program pemberian pakan, pemberian pakan, waktu pemberian pakan, ancho, dan penyimpanan pakan.
a. Pemilihan jenis pakan : diperlukan sesuai dengan stadia larva udang. Pakan alami diperlukan larva pada awal penebaran. Dominasi plankton jenis Clorophyta dan Diatome adalah pakan alami yang baik, sedangkan pakan alami yang merugikan adalah Dinoflagellata dan Blue Green Algae. Ada dua jenis plankton atau organisme renik yang digunakan sebagai makanan alami larva udang vannamei : Plankton nabati atau phytoplankton, yang potensial adalah sekeltonema costatum, Chaetoceros calcitrans, thallasiosera, tetraslmis chuii, dan spirulina. Plankton hewani atau zooplankton, yang potensial adalah nauplius artemia.
b. Program pemberian pakan : untuk larva udang vannamei dalam bak 71 dan 74 pada module E hatchery 5 dilakukan sebanyak 8 kali dalam sehari sesuai dengan dosis dan jadwal pemberian pakan yang telah ditentukan. Jenis pakan yang diberikan adalah pakan alami dan pakan buatan yang disesuaikan dengan stadia larva udang. Adapun data mengenai jadwal pemberian pakan untuk larva udang vannamei dalam bak 71 dan 74 pada module E hatchery 5 adalah sebagai berikut :
3. Fase pertumbuhan
Siklus udang vannamei meliputi stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia postlarva. Menurut Sastradiharja Singgih (2003 : 12) terbagi menjadi 6 fase yaitu :
· Fase Embrio : Dimulai pada tahap saat pembuahan sampai penetasan. Stadia perkembangan telur udang vannamei yaitu perkembangan telur dimulai dari beberapa stadia pembelahan, dimana pembelahannya dibagi beberapa tahap, yaitu: Fertillized egg ,Two cell egg, Four cell egg , Eight cell, Sixteen cell, Morula stage, Blastula stage, Grastula stage, Organogeni stage, Embryonic stage, Embryonic Nauplius (before hatching), Nauplii
· Fase Larva : Terdiri dari stadia nauplii, Zoea, Mysis, dan Postlarva. akhir fase ini ditandai dengan warna tubuh yang transparan. Stadia larva dalam budidaya udang vannamei adalah sebagai berikut :
a. Stadia Naupli : Udang masih belum memiliki sistem pencernaan sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga udang masih belum membutuhkan makanan dari luar. Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini, larva berukuran 0,32 - 0,58 mm. Sistem pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga pada stadia ini larva udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar. Menurut Elovaara, A.K (2001) fase naupli dimulai dari pengeraman sampai hari ke-2 yaitu N1 sampai N2.
b. Stadia Zoea : Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) stadia selanjutnya adalah stadia zoea, stadia ini terjadi setelah naupli ditebar di bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Larva sudah berukuran 1,05 - 3,30 mm. Pada stadia ini, benih udang mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 2, zoea 3. Lama waktu proses pengantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya (mysis) sekitar 4 - 5 hari. Pada stadia ini udang dapat diberi pakan alami berupa artemia. Menurut Elovaara, A.K (2001) fase zoea dimulai dari hari ke-2 sampai hari ke-4 yaitu Z1, Z2, Z3.
c. Stadia Mysis : Menurut Haliman RW dan Adijaya D (2005) pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Benih pada stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva sudah berkisar 3,50 - 4,80 mm. Stadia ini memiliki 3 substadia, yaitu mysis 1, mysis 2, mysis 3 yang berlangsung selama 3 - 4 hari sebelum masuk pada stadia post larva. Menurut Elovaara, A.K (2001) fase mysis dimulai dari hari ke-5 sampai hari ke-10 yaitu M1, M2, M3.
d. Stadia Post larva : Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini benih udang sudah tampak seperti udang dewasa dan sudah mulai bergerak lurus ke depan. Sedangkan menurut Elovaara, A.K (2001) fase post larva dimulai dari hari ke-11 sampai hari ke-21 yaitu PL1 sampai M2.
e. Juvenil : Ditandai tanda dengan fluktuasi perbandingan ukuran tubuh yang mulai stabil.
f. Adultlescent (udang muda) : Proporsi ukuran tubuh mulai stabil dan mulai tumbuh alat kelamin berupa Petasma untuk udang jantan dan Thelicum pada udang betina.
g. Sub Adult (menjelang dewasa) : Ditandai dengan pematangan kelamin yaitu adanya spermatozoa pada ampula terminalis pada udang jantan dan spermatozoa dalam thelicum udang betina.
h. Adult (Dewasa) : Ditandai dengan kematangan gonad yang sempurna.
4, Pengendalian lingkungan
Pengelolaan kualitas air menurut Elovaara, A.K (2001) temperatur air untuk optimalkan pertumbuhan dan transisi dari satu larva ke larva berikutnya adalah 28 0 C, sedangkan salinitas adalah 26-30 ppt dan pH sekitar 8,0, namun pH 7,8 sampai 8,4 sudah cukup. Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993), dalam pengelolaan kualitas air ada beberapa perlakuan diantaranya :
a. Penyiponan : dapat dilakukan ketika larva mencapai stadium mysis dan dapat dilakukan 2 hari sekali, hal ini bertujuan agar sisa-sisa pakan tidak terjadi pembusuka dan penumpukan.
b. Penerapan biosecurity : Biosecurity merupakan suatu tindakan yang dapat mengurangi resiko masuknya penyakit dan penyebarannya dari suatu tempat ke tempat lainnya (Lotz, 1997). Biosecurity juga dapat diartikan sebagai tindakan untuk mengeluarkan pathogen tertentu dari kultivan yang dibudidayakan di kolam induk, pembenihan, maupun kolam pembesaran dari suatu wilayah atau negara dengan tujuan untuk pencegahan penyakit (Lighner, 2003). Pembudidaya perairan di Indonesia melakukan biosecurity dengan berbagai macam tujuan, antara lain yang umum dilakukan yaitu untuk : Memperkecil resiko hewan yang dibudidayakan terserang penyakit, Mendeteksi secara dini adanya wabah penyakit, Menekan kerugian yang lebih besar apabila terjadi kasus wabah penyakit, Efisiensi pada waktu, pakan, dan tenaga, Agar kualitas hewan yang dibudidayakan lebih terjamin Penerapan biosecurity dalam kegiatan pemeliharaan larva sangat diperlukan untuk mengurangi resiko penyebaran penyakit dari satu tempat ke tempat lain. Tindakan pencegahan dengan penerapan bioscurity dilakukan dengan menggunakan PK (Kalium Permanganat) sebanyak 1 ppm yang ditempatkan pada awal pintu masuk ruangan, hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa tindakan pencegahan penyakit dilakukan dengan penerapan biosecurity dengan menggunakan PK (Kalium Permanganat) sebanyak ±1,5 ppm yang ditempatkan pada awal pintu masuk sebelum memasuki dan akan memasuki ruangan. Dengan penerapan biosecurity ini maka diharapkan dapat meminimalisir bibit penyakit yang masuk ke area pembenihan.
4.4.3. Proses panen
Proses panen terdapat pada PT. Central Pertiwi Bahari Fry Production Department Hatchery unit 5 module E bak no71. Persiapan panen nauplii dilakukan pada pukul 10.00 WIB, Pemanenan benur dilakukan mulai pada stadia PL10 atau ukuran PL telah mencapai 1 cm dan yang telah memenuhi kriteria-kriteria benur yang siap dipanen. Caranya adalah Menyiapkan bak dengan volume 200 liter dengan ketentuan salinitas 20 ppt yang terdiri dari 169 liter air laut murni dan 40 liter ait tawar. Siapkan bak yang berisi larutan iodine yang digunakan untuk mencuci seser yang berisi benur udang setelah menyeser dari saringan yang terletak dibawah saluran pembuangan
Prosedur pemanenan dimulai dengan pencabutan selang aerasi, membuka saluran pembuangan yang telah diberi saringan sehingga air yang keluar tidak deras dan benur tidak ikut keluar dengan mengurangi volume air hingga mencapai 50% dari daya tampung bak melalui pipa goyang atau pipa pengeluaran dan pipa saringan bagian dalam, air yang keluar ditampung dengan menggunakan saringan berbentuk persegi yang diletakan dibawah saluan pembuangan saringan tersebut berukuran 300ยต, kemudian benur diseser dan seser yang berisi benur tersebut melewati bak yang berisi larutan iodine. Setelah benur bekurang, pipa saringan bagian dalam dilepas untuk dipanen secara total. Kemudian pindahkan pada ember yang telah berisi air laut selanjutnya siap ditransfer ke area packing benur udang.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kegiatan magang yang telah kami lakukan di PT. Central Petiwi Bahari bagian Fry Production Hatchery 5 Module A, B, E dan F yaitu kami melakukan pangamatan menganai pemeliharaan benih atau larva udang vannamei dari mulai stadia naupli sampai stadia post larva 10 dan siap untuk dipanen yang kemudian ditransfer ketambak-tambak dan dilanjutkan dengan kegiatan pembesaran apabila ukuran size telah sampai ukuran yang diinginkan konsumen maka udang vannamei tersebut dieksport keluar negri khususnya ke Amerika.
Udang Vannamei (Litopaneus vannamei) merupakan udang asli perairan amerika latin. Dan Kehadiran udang vannamei sudah banyak dibudidayakan diIndonesia khususnya yang dilakukan oleh PT. Central Pertiwi Bahari Lampung selatan. Selain merupakan salah satu penyumbang devisa negara udang ini memiliki tingkat nuitrisi yang tinggi dan baik untuk kesehatan apabila dikonsums.
5.2. Saran
Semoga dalam kegiatan magang selanjutnya dapat dipersiapkan terlebih dahulu sarana dan prasarana oleh pihak produksi.